Mohon tunggu...
Mukti Amini Farid
Mukti Amini Farid Mohon Tunggu... -

seorang ibu rumah tangga biasa, yang ekspresif, ulet, romantis, dan detail. sekarang nyasar profesinya jadi dosen PAUD di sebuah kampus negeri. tapi kadang2 juga jadi peneliti, kadang auditor, kadang redaktur, kadang konsultan TK, kadang narsum tivi, kadang tukang fotokopi, kadang operator telpon, kadang juru ketik, kadang guru ngaji, kadang badut, whateverlah. kerjaan apa aja asal halal, sabet aja. he

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar dari Tukang Kerak Telor Belia

10 Januari 2014   21:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:56 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“ Kayaknya kok Ajeng ngefans banget sama tukang kerak telor itu? Dari tadi ngobrol, lama bener” begitu komentar suami saya, saat saya tergopoh-gopoh menyusulnya di area lain di kawasan Bonbin Ragunan yang luas. “Ehehe, iya ngefans banget emang. Nanti deh, penjelasannya panjang,” jawab saya sambil tertawa-tawa. Dan, inilah penjelasan yang saya maksudkan. Sedikit tulisan tentang si tukang kerak telor itu, yang sempat membuat suami saya penasaran. ——————---- Kerak Telor. Makanan khas Betawi itu salah satu makanan favorit saya. Sayangnya, makanan itu jarang saya jumpai di banyak tempat di Jakarta. Paling hanya di tempat-tempat hiburan atau even pameran. Nah, saat beberapa waktu lalu mengantar Hibban ke Bonbin Ragunan, saya ketemu dengan tukang kerak telor. Rasanya langsung perut mendadak lapar Segera saya dekati tukang kerak telor itu. Tampangnya masih muda, dan ini termasuk kejadian langka. Biasanya, tukang kerak telor yang saya temui sudah tua, bapak-bapak lah. Atau minimal ya pemuda duapuluhan. Tapi yang ini, kok tampangnya muda banget ya? Penasaran, sambil dia memasak pesanan saya, saya ajak dia mengobrol. “Rumahmu di mana dek? Kok jualannya di sini?” “Di belakang situ bu, dekat danau” (maksudnya pintu belakang Bonbin Ragunan) “Siapa yang ngajarin bikin kerak telor? Bapaknya ya?” “Bukan Bu. Diajarin tetangga saya, kok” “Lho? Adek asalnya Betawi asli?” “Bukan Bu. Saya Jawa. Ibu Madiun Bapak Cilacap”  (Lah, salah tebak melulu dah saya) “Kok bisa jualan kerak telor, awalnya gimana?” “Ya buat nambah uang jajan aja Bu. Malu kalau minta sama Ibu terus” Kali ini saya tertegun. Mulia sekali niatnya untuk berjualan. Tak ingin merepotkan orang tua. Hmm, tak semua anak muda memiliki pemahaman yang mulia seperti ini. “Ngomong-ngomong, itu tetangganya yang ngajarin, jualan kerak telor juga?” “Iya bu. Di sini juga kok” “Lah? Terus dia gak merasa disaingi gitu, kamu juga jualan di sini? Gak marah dianya?” “Nggak lah bu. Ini kan punya dia. Saya cuma anak buahnya” (Salah persepsi lagi nih saya. Dalam hati, hebat sekali ini anak. Mau ‘ngenger’ ke tetangga dengan usaha apa saja asal halal). “Oo, Jadi yang jualan untuk bapak itu banyak di sini? Gak cuma kamu?” “Iya bu. Ada 6 orang di Ragunan ini” “Teman-temanmu yang 5 gimana? Muda-muda juga seumuranmu?” “Enggak bu. Tua-tua. Jutek-jutek lagi. He” jawabnya sambil tersenyum. Weh, tahan mental juga ini anak. Hebat! Demi tetap punya penghasilan, menjadi anggota paling junior dari sebuah perkongsian sederhana, dengan resiko kadang dibully oleh anggota-anggota lain yang jauh lebih senior. Oalah. Karena tampangnya masih muda, saya nanya apakah dia masih sekolah. “Udahan bu, sekolahnya” (Batin saya, duh, sayang sekali ya. Anak seulet ini harus putus sekolah karena ketiadaan biaya). “Oh begitu. Sayang dong ya, jadi putus sekolahnya” timpal saya iba. “Nggak kok bu. Saya masih sekolah” (Lah? Saya salah tangkep lagi) “Oh ya? Kelas berapa?” “Kelas 3  SMP bu” Saya terbengong. Subhanallah, jadi dia masih sekolah di SMP to? Tadinya saya pikir dia anak SMA kelas 2 atau 3 begitu, karena tampangnya cukup dewasa. Ternyata kelas 3 SMP, artinya itu seumuran Hurin, anak sulung saya. “Terus, jualannya gak tiap hari , dong?” “Memang nggak bu. Kalau hari minggu apa libur sekolah begini aja” “Emm, sekolahnya dimana dek?” “SMP 175 bu” (What? Ternyata dia anak SMP negeri? Artinya, dia bukan anak yang so-so aja otaknya. Bahkan boleh dibilang encer lah, rasa-rasanya). Anak muda yang lalu kuketahui bernama Pian ini, makin membuatku terpesona saja. “Ohyaya saya tahu SMP 175. Jualan kerak telornya sejak kapan, Pian?” “Sudah 2 tahun ini Bu.” Hmm, 2 tahun? itu artinya sejak dia kelas 1 SMP! Subhanallah, sekali lagi saya makin terkagum-kagum. Anak umur segitu sudah memikirkan bagaimana mencari uang tambahan, dengan profesi yang rasanya bagi ABG lain dianggap ‘gak level banget deh’, jadi tukang kerak telor. Itu kan profesi aki-aki, ya minimal bapak-bapak. Tapi ini? Anak lulusan SD. Anak metropolitan lagi, yang biasanya lekat dengan budaya hura-hura. Horeee! “Pian, nanti kalau lulus SMP jangan berhenti sekolah ya. Harus lanjut SMA, terus kalau bisa kuliah,” pesan saya sambil merasa terharu campur iba. “Iya bu, saya juga pengin nerusin ke SMA kok. Tapi saya mau pilih SMK” “SMK? Mau ambil teknik mesin, begitu?” “Bukan bu, Saya pengin masuk tata boga.” Jawabnya dengan sangat mantap. Gleg! Kali ini saya benar-benar melongo. Anak kelas 3 SMP ini sudah punya arah cita-cita yang sangat jelas ternyata. Mendalami ilmu kuliner dan hidup darinya, dan itu diawali dari mempelajari dan mengalami langsung jadi tukang kerak telor. Ah, Pian,.. Pian. Tetiba terbayang anakku Hurin di rumah, yang masih sebaya dengannya. Memang ketiadaan fasilitas dan sarana sering membuat orang menjadi jauh lebih kreatif. Hurin dibesarkan dalam keluarga yang Alhamdulillah bisa mencukupi kebutuhannya, sehingga mungkin tidak kepikiran untuk jualan ini itu atau usaha apa guna menutupinya. Tetapi selama dia berada di boarding dengan uang saku yang terbatas sesuai aturan boardingnya, saya juga melihat kreativitas semacam itu muncul. Pernah dia dan teman sekamarnya membuka usaha ‘salon muslimah’, dan dia bertugas jadi massager alias tukang pijat. Teman-temannya yang lain ada yang bertugas bagian facial, ada yang cuci rambut, dll. Siapa customernya? Tentunya teman-temannya yang berbeda kamar, dengan tarif murah meriah ala pelajar. Eh, kok jadi ngelantur. Kembali ke Pian. Tiba-tiba saya ingin memotivasinya. “Wah! Bagus banget itu Pian, kalau masuk tata boga. Ntar bisa dilanjut kuliah di perhotelan bagian tata boga juga, atau di IKIP jurusan tata boga. Adek ibu juga lulusan tata boga IKIP Semarang. Orderan bikin kue ini itu kalau ditelateni bisa melebihi gaji bulanan PNS lho! Apalagi kalau nanti Pian bisa jadi chef terkenal. Wuih! Kan sekarang banyak tuh chef laki-laki yang masih muda,” kata saya panjang lebar, sambil tiba-tiba semangat sendiri membayangkan Pian dewasa suatu saat nanti. “Iya bu. Makasih. Doakan ya bu?” “Okeh. semoga berhasil mencapai cita-citamu ya” Pertemuan sekilas itu memang membuat saya sangat terkesan dengan sosoknya. Supaya saya tak kehilangan jejak, di akhir pertemuan saya meminta nomor hapenya dengan alasan, “Siapa tahu nanti ibu pengin makan kerak telor lagi, kan bisa pesen ke Pian.” Padahal mah dalam hati merasa, bahwa saya tak boleh kehilangan jejak anak ini. Saya merasa  bahwa nomor hape itu pasti ada gunanya suatu saat. Anak setangguh dan seulet dia, tak boleh dibiarkan layu meranggas dan mati potensi karena daya dukung finansial yang tak memadai. “Boleh bu. Mau Pin BB saya juga bu? Ada kok” Ealah, malah nawarin pin BB juga. Tawarannya saya terima dengan senang hati, meskipun sampai hari ini dia tak saya invite di BB saya. Takut lucu aja, gak nyambung gitulah, dunia emak-emak versus dunia ABG seumuran Pian Dari Pian, tukang kerak telor belia itu, saya belajar. Bahwa mimpi harus dibangun sejak dini, dan dirintis sedikit demi sedikit, Tak perlu melihat bagaimana orang pada umumnya, tak perlu gengsi dan malu, karena yang tahu bagaimana cara meraih mimpi itu adalah kita sendiri. Pian, ABG kelas 3 SMP itu, mampu bepikir out of the box.  Sedikit dari kita yang mampu berpikir seperti itu.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun