Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Orangtua dan Pengaturan "Screen Time"

16 April 2024   12:11 Diperbarui: 17 April 2024   01:53 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak dan gadget. (Shutterstock via Kompas.com)

Satu keluarga muda datang ke istri, yang kebetulan seorang psikolog anak. Pasangan ini mengeluhkan anak pertamanya, usia 3 tahun, yang tak nyambung ketika diajak berkomunikasi. Kalimat yang keluar dari mulut buah hati adalah pengulangan-pengulangan alias membeo.
"Apa kabar?"
Dijawab dengan:
"Apa kabar?"
Begitupun ketika disapa, respons yang keluar adalah pengulangan lagi.

Di hari lain, seorang ibu datang untuk berkonsultasi perkembangan anaknya. Si kecil mengalami keterlambatan bicara atau speech delay. Kata yang keluar dari mulutnya hanyalah gumaman-gumaman. Si anak mengerti perintah, namun tak dapat menyampaikan maksud dengan ungkapan verbal.

Tentu akan butuh asesmen lebih lanjut untuk mendalami kedua kasus tadi. Namun dari penelisikan berbungkus obrolan santai, ada kesamaan yang cukup terang diantara keduanya, yaitu si anak mendapatkan akses menonton smartphone dalam waktu yang berlebihan. 

Ironisnya, orangtua cenderung menghindar ketika ditanya waktu akses gawai anak (screen time).
"Hmm, kemarin agak sering sih. Tapi sekarang sudah dibatasi."
"Kadang-kadang dikasih. Kalau tidak dikasih nanti dia mengamuk."

Mungkin takut disalahkan? 


Persoalan gangguan tumbuh-kembang anak akhir-akhir ini menjadi hal yang jamak ditemui. Cerita tentang anak yang mengalami keterlambatan bicara, motorik halus dan kasar yang tidak berkembang, atau tantrum yang berlebihan hampir selalu ditemukan dalam tiap percakapan tentang anak diantara teman-teman.

Pemandangan familiar juga terlihat saat keluarga berkumpul. Anak-anak terlihat sibuk dengan gadget masing-masing. Bahkan ada yang memberikan handphone khusus untuk anaknya yang masih dibawah enam tahun.

Anak dengan handphone sekarang menjadi lumrah. Seolah menjadi pembenaran, bawa demikianlah sesungguhnya generasi digital native. Diperkenalkan dengan teknologi digital sedini mungkin. Apakah langkah tersebut ideal untuk perkembangan anak?

Sumber : https://www.pandasecurity.com/en/mediacenter/when-should-kids-get-smartphones/
Sumber : https://www.pandasecurity.com/en/mediacenter/when-should-kids-get-smartphones/

Screen Time Ideal

Screen time adalah waktu yang dihabiskan untuk menatap layer gadget. Termasuk didalamnya smartphone, televisi, laptop atapun perangkat lainnya.

Organisasi kesehatan dunia, WHO, telah mengeluarkan fatwa bahwa kecanduan gadget telah dimasukkan kedalam salah satu jenis penyakit. Dampak konsumsi gaget berlebihan tidak main-main, terutama untuk anak usia ini. Anak dengan screen time berlebih berpotensi untuk mengalami gangguan pada perkembangan fisik, kognitif atau sosial emosional.

Gangguan fisik antara lain adalah hambatan perkembangan motorik, obesitas, risiko penglihatan buruk, dan durasi tidur yang lebih pendek.

Sedangkan pada aspek perkembangan kognitif yang dapat mengganggu anak adalah kurangnya kemampuan fokus, ganguan ADHD, dan kemampuan memecahkan masalah.

Gangguan aspek sosial emosional yang jamak terjadi adalah terbatasnya kosakata dalam komunikasi, kurangnya kemampuan bersosialisasi, masalah perilaku, dan gejala emosional.

WHO menganjurkan screen time ideal untuk anak dibawah usia 2 tahun adalah 0. Artinya tidak diperkenankan memberi tontonan statis apapun pada anak usia tersebut, baik melalui smartphone ataupun televisi.

Sedangkan untuk anak usia 2 sampai 4 tahun, screen time yang disarankan adalah maksimal 1 jam sehari. Tentu lebih singkat akan lebih baik. Dengan screen time yang lebih sedikit, maka sisa waktu dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain yang lebih bermanfaat semisal berolahraga ataupun meningkatkan interaksi sosial anak dengan lingkungan sekitar.

Sumber : https://stressfreekids.com/13224/smartphones-stressing-our-children/
Sumber : https://stressfreekids.com/13224/smartphones-stressing-our-children/

Mengatur Screen Time Anak

Sebagai generasi yang terlahir di era dimana teknologi bukanlah lagi barang langka, tentu tak bijak untuk total menjauhkan gawai dari anak. Namun orangtua perlu memahami bahwa ada batasan-batasan screen time yang aman sehingga tidak menjadi penghambat perkembangan anak.

Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatur screen time anak.

Buat aturan dan komitmen

Orangtua perlu membuat kesepakatan bersama anak tentang screen time. Kapan waktu yang dibolehkan untuk mengakses gawai? Berapa lama? Apa syarat dan ketentuan yang berlaku?

Misalnya dibuat aturan bahwa anak dibolehkan mengakses smartphone hanya pada waktu malam selama satu jam. Waktu yang disepakati adalah setelah shalat magrib hingga azan isya. 

Orangtua bisa menentukan syarat, misalnya anak harus menyelesaikan kewajiban shalat magrib, mengaji tiga ayat, atau mungkin belajar satu halaman. Diluar syarat dan ketentuan diatas, maka tidak diperkenankan mengakses smarphone.

Pada penegakan aturan, maka perlu diperhatikan komitmen dan konsistensi. Orangtua bisa menolak tegas bila anak meminta gawai diluar jam kesepakatan. Begitu pula sebaliknya. Apabila semua kondisi sudah memenuhi, orangtua wajib memenuhi komitmen untuk memberikan gawai. 

Jangan banyak alasan lagi. Apalagi alasannya adalah orangtua mau scroll tiktok dulu, atau checkout orderan, hehe.

Ketidakmampuan orangtua menepati komitmen akan memberi contoh kepada anak bahwa janji bisa dilanggar, kata-kata orangtua tak lagi bisa dipercaya sepenuhnya. Sia-sia sudah membuat aturan.

Menjadi teladan

Metode belajar anak adalah meniru atau modelling. Pada usia dini, sosok yang menjadi panutan untuk ditiru adalah orangtua. Cara bersikap, kebiasaan, ataupun cara berkomunikasi akan dipelajari anak dari sosok ayah dan ibunya.

Dorongan anak untuk menonton handphone sesungguhnya lahir dari keingintahuan akan aktivitas orangtuanya yang terlihat asyik sekali dengan gawai.

"Kenapa sih Ayah sering senyum-senyum sambil lihat hp?"
"Kok Ibu kalau lagi lihat hp suka lama? Sepertinya asyik"

Rasa penasaran seperti inilah yang mendorong terbitnya cita-cita mulia anak untuk mengakses gawai.

Terkadang kita tidak sadar, kecanduan anak akan gawai justru datang dari mencontoh kebiasaan kita sendiri. Berhari-hari selama bertahun-tahun anak disajikan pemandangan orangtua yang asyik masyuk dengan perangkat pintarnya. Ingatan itu melekat, mendorong keingintahuan, meniru, dan menjadi kebiasaan.

Penerapan puasa gawai perlu diterapkan pula oleh orangtua. Misalnya tak ada handphone saat bersama dengan anak. Entah itu waktu makan, bermain ataupun sekedar berkumpul. 

Dengan demikian anak mendapatkan contoh bahwa akses handhphone memang hanya perlu dilakukan di saat-saat tertentu saja. Bukan menjadi prilaku rutin sepanjang hari.

Apakah berat? Mungkin. Namun demi anak, bukankah semua akan dilakukan? Pekerjaan yang paling berat saja akan ditempuh demi anak istri. Kenapa hal sepele semisal menahan diri untuk bermain gawai di depan anak saja tidak bisa? Kan demi tumbuh kembang anak juga?

Berikan alternatif kegiatan

Fitrahnya, anak adalah individu yang selalu sibuk. Anak yang sehat akan selalu bergerak aktif, mencari kegiatan. Entah itu menggunting kertas, memanjat pohon, atau mengaduk-aduk isi kulkas. Pernahkah lihat anak-anak bengong merenung tak ada kerjaan? Alias gabut? Haha.

Ketika ia kehabisan ide bermain, saat itulah ia datang ke ayah atau bundanya. Tentu dalam misi mengajak main. Namun, terkadang orangtua malah memberikan handphone agar kesibukannya tidak diganggu anak, kan? Sibuk scroll-scroll misalnya, hehe.

Nah, karena orangtua sudah membuat komitmen soal screen time, maka perlu pula dipikirkan kegiatan yang menjadi alternatif diluar waktu kesepakatan, agar anak tak rewel meminta handphone. Berikanlah opsi kegiatan yang bermanfaat untuk perkembangannya. 

Aktivitas fisik misalnya, atau membuat karya, melakukan eksperimen, atau mungkin membaca buku bersama. Selain baik untuk perkembangannya, kegiatan bersama orangtua akan memperkuat ikatan orangtua-anak, menumbuhkan rasa saling percaya dan kesadaran anak bawa ia sungguh mendapatkan perhatian dari ayah-bunda.

Ilustrasi orangtua bermain bersama anak. Sumber : https://www.offthewallkidz.com/blog/benefits-of-parent-child-playtime-at-indoor-play-centers
Ilustrasi orangtua bermain bersama anak. Sumber : https://www.offthewallkidz.com/blog/benefits-of-parent-child-playtime-at-indoor-play-centers

**
Menikmati screen time tidaklah selamanya buruk. Bisa jadi ada hal-hal positif yang bisa membantu orangtua dalam mengawal tumbuh kembang anak. Namun yang perlu diperhatikan adalah mengatur komposisi yang tepat, baik waktu ataupun bahan tontonannya.

Melepaskan gawai sepenuhnya kepada anak bukanlah ide bagus. Kontrol orangtua perlu dilakukan, agar anak pun dapat pula belajar mengontrol kebutuhan dirinya akan akses gawai. Bukan malah sebaliknya, anak yang dikontrol perangkatnya.

Masa kanak-kanak bukanlah masa yang panjang. Waktu emas itu tidak akan berulang lagi. Perkembangan anak bukan seperti skripsi yang kapan saja bisa direvisi. Ia terus bergerak maju.

Sungguh sayang bila hal sepenting itu terlewatkan hanya karena benda seukuran telapak tangan.

Ya, kan?

Curup,
16.04.2024
Muksal Mina Putra

Referensi:

1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun