Fenomena Kepemilikan Lahan di Kampungku
Dalam aggitan artikel ini merupakan bentuk kecemasan secara pribadi berdasarkan pengamatan sendiri tidak berpijak pada studi riset ilmiah yang biasa menggunakan instrumen yang menyertai setiap kajian/penelitian ilmiah.Â
Hanya berdasarkan pengamatan belaka terhadap fenomena di desa sekitar tempat tinggal penulis. Sehingga tulisan ini hanya bersifat asumsi tentang kepemilikan lahan pertanian saat ini.Â
Bagi penduduk pedesaan tempat tinggal penulis seperti terbatas. Petani tidak memiliki lahan pertanian lagi. Baik karena ekstensifikasi lahan yang bersinggungan dengan hutan lindung harus menjadi batas. Yang  tidak boleh diganggu oleh masyarakat secara hukum.
Selain itu perkembangan jumlah penduduk desa yang mulai naik secara persentase acap kali juga menyertai keterbasan lahan. Secara pemilikan lahan biasanya hanya berdasarkan tanah warisan yang diturunkan oleh keluarga saja. Itu pun harus berbagi dengan sanak keluarga dalam memilikinya, terkadang berujung ribut dalam keluarga loh.
Disamping sabab musabab ini juga, pengolahan pertanian belum beralih pada sistem intensifikasi dan modernisasi pertaniah. Masih dengan pola tradisional dalam penggarapan lahan.
Kepemilikan Lahan Pertanian di Pedesaan Sudah Bukan Lagi Milik Petani Lagi?
Menurut pengamatan penulis ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa ini bisa terjadi. Mengapa masyarakat tergiur untuk menjual lahan mereka.
1. Rendahnya ekonomi masyarakat, sehingga jalan pintas pun dilakukan. Dengan menjual hak milik.
2. Rebutan harta warisan dalam keluarga, untuk menghindari perselisihan diantara ahli waris. Jadi jual deh!
3. Rendahnya rasa ingin menjadi seorang petani, daripada tidak digarap lalu dijual. Untuk modal usaha atau memenuhi gaya hidup/keinginan semata.