Banyak Anak Banyak Rezeki atau Dua Anak Sudah Cukup
Kita mungkin pernah mendengar istilah orangtua dahulu menyatakan bahwa "Banyak Anak Banyak Rezeki". Â
Makanya zaman dahulu termasuk orang tua saya punya banyak anak, ada delapan saudara. Bahkan tetangga sebelah rumah punya anak satu tim kesebelasan sepakbola loh.
Istilah ini sering disampaikan para lajang bahkan kepada calon pengantin baru yang melangsungkan pernikahan.Â
Selamat ya atas pernikahannya, semoga rukun dan damai hingga ajal menjemput, dan jangan lupa punya anak yang banyak ya. Hihi...
Untuk mendukung kelogisan dari cara berpikir orangtua dahulu, banyak anak banyak rezeki. Barangkali situasi dan kondisi di waktu itu mengharuskan untuk melakukannya.
Dengan banyak anak versi tetua desa memiliki beberapa keuntungan yang dapat dirasakan. Minimal beban kerja kedua orangtua di usia senja atau anak telah beranjak dewasa bisa membantu kerja mereka.
Dari kacamata petani, yang sehari-hari bekerja sebagai petani. Bisa dihubungkan dengan istilah kata banyak anak banyak rezeki. Patokan berpikir seperti ini terjadi dengan orangtuaku dahulu ya.
Dengan pengelolahan pertanian masih dilakukan secara manual dan tradisional. Anak yang bahu membahu membantu pekerjaan orang tua maka pekerjaan mereka jelas lebih terbantu.Â
Dari runtutan bertani yang lazim terjadi di perkampungan, dimulai dari membuka lahan, penyemaian/pembibitan, penanaman, pasca panen, hingga panen pun sangat membutuhkan orang lain.
Jadi dengan keluarga yang besar seperti ini bisa diuntungkan. Pasalnya dari sisi finansial lebih diringankan tidak mesti mengeluarkan biaya untuk mengupah orang lain.Â
Pengaruh penjajahan. Mengapa penjajahan juga berpengaruh, asumsi awamologiku dengan dijadikan pribumi sebutan penduduk nusantara sebagai pekerja paksa, memaksa keluarga bekerja dibawah kendali penjajah membuat orang tua, anak-anak laki dijadikan para pekerja.
Alhasil, anak yang beranjak dewasa dan satu-satu lepas ditangan oleh kolonial, menjadikan orang tua banyak menjadi duda bahkan hidup sebatang kara. Mungkin saja kejadian seperti terbersit pada setiap orang, kalau punya satu anak bisa berabe, mungkin saja.Â
Selain faktor Kultur, Agama dan Pendidikan. Dan program pemerintah yang tidak semarak seperti sekarang dalam mensosialisasikan pentingnya rentang jarak anak.
Seperti percakapan di bawah ini yang pernah terdengar ditelinga. Punya anak harus banyak, bila tua nanti ada yang ngurusin, Neng. Kada enak tinggal sendirian sama suami doang, kagak ada anak dan cucu dirumah.
Iya Mbok, kan yang nemani Mbok ada aku jawab Neng. Tu bibimu, yang sering main kesini, kamu lihat rumah pada sepi banget katanya.
Anak yang pertama laki-laki dinas dikota lain dan berkeluarga, tinggal pun dikota istrinya. Anak yang perempuan yang baru nikahan dua bulan yang lalu, juga ikut suami. Karena suami bekerja disana.
Jadi kasihan deh bibimu. Neng, jadi kata Mbok. Kalau punya anak banyak anak kagak apa ya.
Tu tetangga yang disamping rumah, kemarin waktu suaminya dirumah sakit, ribet tu. Anak jauh semua, jadi ribet ngurus adminitrasi suami, mondar-mandir kesana kemari, untung ada kakakmu yang bantu urusannya.
Gambaran ini bisa jadi dasar berpikir bahwa punya banyak anak justru memiliki kelebihan dari sudut pandang awamologi.Â
Hal ini bertolak belakang dengan program BKKBN yang mencanangkan dua anak sudah cukup. Dasar kebijakan yang penting melihat pertumbuhan jumlah penduduk yang naik signifikan. Walaupun jumlah penduduk masih kita masih di bawah China, India maupun Amerika.
Pertumbuhan yang cepat berkontribusi kepada lahan pekerjaan, kemiskinan dan krisis pangan yang patut untuk dipertimbangkan oleh pemerintah.Â
Yakni dengan menekan laju pertumbuhan jumlah penduduk, merupakan dasar pijakan pemerintah melalui program BKKBN yang gencar mensosialisasikan program ini.Â
Pada sisi lain menekan laju jumlah penduduk pemerintah berupaya menerapkan batasan usia pernikahan menjadi 19 tahun. Tuk mengantisipasi pernikahan dini yang naik di setiap tahun, memicu ledakan penduduk bukan.Â
Berangkat dari  kecemasan Thomas Robert Malthus berpandangan "Laju pertumbuhan penduduk itu seperti deret ukur, dan laju pertumbuhan pangan seperti deret hitung" .Â
Yang artinya laju pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan pangan. Dan dampaknya, dalam jangka waktu panjang manusia akan mengalami krisis sumber daya alam dan berebut untuk mendapatkan pangan jika laju pertumbuhan penduduknya tidak mampu ditekan.
Nah dari dua perbandingan ini, bisa menjadi tolak ukur buat pengantin baru untuk melihat sisi baik dan buruk, banyak anak atau dua anak sudah cukup. Sebagai program hamil nanti dan nanti.
Atau justru menunda kehamilan karena kesibukan pekerjaan, karir, ekonomi keluarga yang belum stabil, dan sebagainya. Yang bisa menjadi program setiap bagi keluarga baru untuk tidak buru-buru dapat momongan.
Pokoknya, berapapun anak kita adalah anugerah/rezeki yang penting disyukuri, bagi yang belum semoga cepat diberikan dan selalu sabar dan selalu usaha.
Mau banyak atau sedikit yang paling baik adalah mendidik mereka menjadi anak yang berkarakter itu lebih penting. Siiits jangan pada aborsi ya. Karena berbahaya. Apalagi membuang anak diselokan jalan.
SALAM
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI