Pengaruh penjajahan. Mengapa penjajahan juga berpengaruh, asumsi awamologiku dengan dijadikan pribumi sebutan penduduk nusantara sebagai pekerja paksa, memaksa keluarga bekerja dibawah kendali penjajah membuat orang tua, anak-anak laki dijadikan para pekerja.
Alhasil, anak yang beranjak dewasa dan satu-satu lepas ditangan oleh kolonial, menjadikan orang tua banyak menjadi duda bahkan hidup sebatang kara. Mungkin saja kejadian seperti terbersit pada setiap orang, kalau punya satu anak bisa berabe, mungkin saja.Â
Selain faktor Kultur, Agama dan Pendidikan. Dan program pemerintah yang tidak semarak seperti sekarang dalam mensosialisasikan pentingnya rentang jarak anak.
Seperti percakapan di bawah ini yang pernah terdengar ditelinga. Punya anak harus banyak, bila tua nanti ada yang ngurusin, Neng. Kada enak tinggal sendirian sama suami doang, kagak ada anak dan cucu dirumah.
Iya Mbok, kan yang nemani Mbok ada aku jawab Neng. Tu bibimu, yang sering main kesini, kamu lihat rumah pada sepi banget katanya.
Anak yang pertama laki-laki dinas dikota lain dan berkeluarga, tinggal pun dikota istrinya. Anak yang perempuan yang baru nikahan dua bulan yang lalu, juga ikut suami. Karena suami bekerja disana.
Jadi kasihan deh bibimu. Neng, jadi kata Mbok. Kalau punya anak banyak anak kagak apa ya.
Tu tetangga yang disamping rumah, kemarin waktu suaminya dirumah sakit, ribet tu. Anak jauh semua, jadi ribet ngurus adminitrasi suami, mondar-mandir kesana kemari, untung ada kakakmu yang bantu urusannya.
Gambaran ini bisa jadi dasar berpikir bahwa punya banyak anak justru memiliki kelebihan dari sudut pandang awamologi.Â
Hal ini bertolak belakang dengan program BKKBN yang mencanangkan dua anak sudah cukup. Dasar kebijakan yang penting melihat pertumbuhan jumlah penduduk yang naik signifikan. Walaupun jumlah penduduk masih kita masih di bawah China, India maupun Amerika.
Pertumbuhan yang cepat berkontribusi kepada lahan pekerjaan, kemiskinan dan krisis pangan yang patut untuk dipertimbangkan oleh pemerintah.Â