Literatur sejarah, kerajaan yang dulu paling berjaya harus hancur seketika, ketika terjadinya perang saudara, rebutan ahli waris siapa yang paling berkuasa, paling kredibel dan pantas menduduki tampuk tertinggi. Pemberontakan internal kerajaan Majapahit, misalnya.
Demokrat dalam hal ini seperti mengalami permasalahan yang sama, rebutan elit internal parpol yang mulai bergerak/merongrong kedudukan sang ketua umum, pro dan kontra, loyal dan tidak loyal para kader partai tidak terelakan lagi.
Khabar angin yang berhembus, isu pembelotan kader yang merongrong kepemimpinan AHY, tidak terlepas dari pandangan elit yang beranggapan kondisi Demokrat secara elektabilitas semakin jauh menurun. Dan perlu perubahan dan pembenahan Parpol secepat mungkin.
AHY dianggap tidak mampu untuk itu, membawa partai tegak mendongak seperti kejayaan masa lalu. Â Dan harus kecewa dengan beberapa kali menelan pil pahit sebuah kekalahan adalah bukti sebuah kemunduran partai.
Pertaruhan pilpres kandas, gubenur DKI lepas, kursi senayan tergerus dari peringkat kelas, dan masamnya tawaran dari rival politik tak berbalas, seakan nyata dialami Demokrat sekarang.
Tudingan demi tudingan mulai dimuarakan, ke AHY bahkan merembet pada Bapaknya, bahkan sejarah keruh parpol banyak terungkap, serta inkonsitensi janji SBY pada Anas, Marzuki Ali dan senior demokrat lainnya dikala itu.
Mungkin, kegaduhan Internal Demokrat. Bisa jadi adalah karma SBY, ketika ia berupaya melupakan kesepakatan yang pernah ia lakukan. Yang pada akhirnya, ia juga akan mengalami kejadian yang sama, dikhianati teman-temanya.
Kecemasan SBY, mau tidak mau harus jelas turun tangan, jika tidak mau melihat AHY terjungkal atau Demokrat terpecah belah seperti parpol lain bukan. Apapun cara harus dilakukan.
Berkunjung ke istanah-kah, membujuk atau merayu disertai iming-imingkah pada elit yang dianggap membelot, untuk sang anak sulung tetap bertahan ditampuk kursinya.
Jika tidak, Demokrat jelas menyusul dua parpol yang sudah mendirikan parpol baru, secara tak langsung akan merugikan Demokrat itu sendiri. Gelora dan Ummat.
Atau Pak SBY legowo menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada orang lain, dengan dasar keutuhan partai.