Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Identitas Budaya Antara Hilang atau Bertahan

18 Juli 2019   07:42 Diperbarui: 18 Juli 2019   07:50 1422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semakin berkembangnya zaman semakin berkembang pula prilaku kehidupan manusia. Yang dulu dianggap tabu mungkin saat ini bisa dikatakan suatu kelaziman. Perubahan ini secara langsung dapat dirasakan pada diri kita dan sekitar lingkungan tempat tinggal.

Misalnya sesuatu yang dianggap kolot seiring waktu berubah menjadi 'trend' di masyarakat. Seperti wanita kalau dahulu dianggap tidak elok menyapa seorang laki-laki yang tidak dikenal karena secara nilai dan etika dianggap sebuah aib. Merendahkan derajatnya sendiri. Apalagi sampat berkunjung dan berdua-duan dirumah kosong. Tapi, saat ini mungkin bisa jadi hal yang lazim untuk dilakukan.

Dinamika perubahan ini berlahan-lahan seperti terjadi. Kuno sesuai dengan perkembangan zamannya. Dan modern begitu juga. Kini dianggap baik belum tentu untuk besok, buruk untuk saat ini belum tentu juga dianggap buruk untuk lusa hari.

Pergeseran tata nilai budaya seakan menerpa bak badai melanda. Khazanah kearifan budaya luhur tergerus dan seakan pudar dari cahaya. Dari aneka warna-warna baru yang datang bermunculan. Bahkan dapat merubah secara keseluruhan beberapa pusaka yang diwariskan pendahulu.

Secara humanis ataupun kemajuan, jelas ada beberapa kearifan lokal yang harus dihilangkan atau dirubah. Karena terkandung unsur-unsur tidak manusiawi, etis atau tidak layak untuk dipertahankan. Tapi, tidak semua warisan para leluhur dianggap tidak baik. Ada sisi yang mesti dilestarikan atau dirubah kepada yang lebih baik.

Contonya dalam Suku Rejang yang saya dapati cerita dari para tetua Desa. Yaitu budaya "bleket". Bleket merupakan suatu tardisi pernikahan zaman dahulu. Dimana seorang laki-laki ataupun wanita ketika menikah seperti terjual oleh keluarga dengan mahar yang disepakati. Kepada pihak mempelainya. Dan konsekuensi yang "bleket" seakan putus hubungan persaudaraan dengan keluarganya. Dan menjadi keluarga utuh yang membeli.

Hubungan keluarga yang terputus hanya bisa disatukan dengan "jur'i" kalau tak salah begitu tulisannya, karena diucap dengan dialek Rejang sedikit susah untuk dirangkai dalam ejaan. Jur'I adalah keturunan mempelai yang akan merekatnya kembali. Dengan kata pulang ke daerah/keluarga asal yang "bleket". Ke rumah keluarga yang menjual, ini yang akan menjadi perantara dan penuntun silahturahim dalam merajut keterputusan hubungan selama ini.

Tapi, saat ini "bleket" telah dihilangkan dan diganti dengan cara yang baru yaitu "semendo rajo-rajo". Semendo rajo-rajo adalah kedua mempelai tidak dijual ataupun terbeli tapi mereka bebas menetukan untuk ikut siapa. Mau ikut pihak mempelai laki-laki dibolehkan, ikut pihak wanita tidak dipersoalkan. Dan menyatukan kedua keluarga besanan.

Inilah sebuah contoh budaya yang telah dihilangkan atau dirobah. Mungkin di setiap daerah pasti ada beberapa budaya masih dianggap bertentangan dengan kelaziman yang baik. Yang perlu dilakukan perobahan atau mungkin tetap dipertahankan sepanjang hayat. Walau terkadang berkesan tidak adil oleh sebagian pihak. Khususnya para wanita yang sering "timpang" dan jadi korban akan tradisi para leluhur.

Dalam hal ini menjadi catatan penulis yang mesti digaris bawahi bahwa budaya atau tradisi adalah sesuatu yang sangat berharga dari pendahulu untuk kita. Yang mesti dijaga dan dilestarikan. Tapi juga harus melihat sisi kebaikan dan sisi keburukan mana yang perlu dilestarikan dan mana yang harus dihilangkan.

Ambil yang Baik Tinggalkan yang Buruk

Kata-kata yang selalu terngiang ketika mendengar khotbah 'ambil yang baik tinggalkan yang buruk'. Suatu kata anjuran dan peringatan menurutku dari para guru saat memberikan tuntunan motivasi kepada siswa. Yang baik dipertahankan. Yang buruk dirobah atau dihilangkan sama sekali.

Budaya tidak terlepas akan hal ini. Ada suatu yang perlu kita jaga dan lanjutkan. Dalam konteks masih dibutuhkan karena aspek manfaat dan mudharatnya. Dan ada beberapa budaya tidak bisa dilanjutkan karena banyaknya pertentangan dari sisi baik dan buruknya. Atau perlu dirobah menjadi budaya baru yang lebih moderat-kah, lebih manusiawi atau mencocokan dengan aturan zaman yang baru.

Dari segi nilai atau etika misalnya, betapa banyak budaya kita masih dianggap relevan untuk konteks saat ini. Ditengah derasnya arus budaya global, budaya impor yang tidak layak bagi kita. Seakan tidak pantas untuk kita. Meninggalkan sisi cantik budaya sendiri. Misalnya, Budaya malu bukan budaya gengsi, tata karma, gotong royong, toleransi, musyawarah, saling asih dan asuh tetap harus bertahan.

Begitupun dengan budaya luar implikasi perkembangan zaman yang sangat rentan mempengaruhi pergeseran-pergeseran saat ini  "Ambil yang Baik Tinggalkan yang Buruk". Bukan ditelan semua tanpa filter seperti "Hoaks" yang suka dikonsumsi saat ini. Tanpa melihat sisi baik dan sisi buruknya.

Budaya adalah Identitas Diri

Keaneka ragaman budaya nasional yang meruah. Menjadikan Indonesia bangsa yang majemuk. Kaya akan budaya dan tradisi. Perbedaan bahasa, kesenian, makanan, wana kulit, agama, bangunan, sifat, dialek dan ritualitas seni lainnya.

Dalam artian bisa dikatakan Bangsa Indonesia dalah bangsa ter-Heterogen sedunia mungkin. Kekayaan ini membuat iri dari bangsa lain yang tidak dimiliki oleh mereka. Ada reog, rendang, pempek, tari saman, akasara kaganga, batik, jika dikalkulasikan secara rinci mungkin ribuan bahkan jutaan kekayaan yang dimiliki kita.

Mirisnya, beberapa budaya kita telah dicaplok menjadi hak paten mereka. Dan berakhir saling salah menyalakan diantara kita, Kok bisa? Klaim begitu. Bahkan budaya kita sendiri mulai ditinggalkan oleh bangsanya sendiri khususnya para generasi saat ini. Dengan istilah tidak modern atau tidak berkelas.

Menarik bila melihat bangsa luar seperti India misalnya, yang setiap produk perfilman selalu menampilakan ciri khas mereka. Nyanyian dan pakai Sari selalu tidak pernah tinggal ditayangkan. Mengapa kita Indonesia tidak mau seperti itu? menonjolkan budaya kita sendiri seperti baju Batik misalnya. Objek-objek cantik bangsa kita? Justru asyik meniru budaya bangsa luar.

Kekayaan yang dimiliki Bangsa semestinya harus ditunjukan sebagai edukasi budaya sendiri untuk generasi agar bangga dengan bangsa sendiri. Dan menjadikan "identitas Diri" ini loh kita! 

Jika kita bisa, kita punya, ngapain cara yang lain.

Curup, 18 Juli 2019

Ibra Alfaroug

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun