Setiap tahun, saat Idul Adha tiba, saya selalu merasa campur aduk. Di satu sisi senang melihat semangat berbagi di lingkungan saya, tapi di sisi lain ada rasa ingin sekali bisa ikut berkurban. Sayangnya, kondisi keuangan saya waktu itu belum memungkinkan. Rasanya seperti impian yang jauh dari jangkauan.
Namun tahun lalu saya putuskan untuk mengubah pola pikir saya. Saya bilang ke diri sendiri: "Tahun depan, saya harus bisa kurban. Apapun caranya." Dan sejak saat itu, semuanya mulai berubah. Bukan karena mendadak kaya, tapi karena saya mulai merencanakan dengan serius.
Satu kesalahan terbesar saya dulu adalah berpikir bahwa kurban itu hanya untuk orang yang "berlebihan uang". Padahal, banyak dari mereka yang ikut kurban itu justru bukan orang kaya, tapi orang yang disiplin menyisihkan sedikit demi sedikit sejak jauh-jauh hari.
Jadi saya mulai dari hal kecil: saya buka tabungan khusus. Satu celengan plastik bekas wadah biskuit saya ubah jadi "Tabungan Kurban". Setiap minggu saya sisihkan uang, walaupun cuma Rp20.000. Nggak terasa, dalam 3 bulan sudah terkumpul Rp240.000. Jumlah kecil, tapi bikin semangat.
Di bulan ketiga, saya mulai mencari informasi soal program tabungan kurban. Ternyata banyak lembaga yang menawarkan cicilan untuk pembelian hewan kurban, bahkan ada yang bisa dicicil 12 kali. Itu membuka mata saya bahwa peluang sebenarnya terbuka lebar.
Bagi saya, bisa ikut kurban bukan sekadar soal menunaikan ibadah. Ini juga tentang pembuktian diri---bahwa saya bisa berkorban untuk sesuatu yang besar dan bermanfaat bagi orang lain. Bahwa saya bisa melepas kenyamanan jangka pendek demi kebaikan yang lebih besar.
Salah satu trik yang paling membantu saya adalah membuat target bulanan. Kalau harga kambing kisaran Rp2.500.000, maka per bulan saya harus sisihkan minimal Rp210.000. Dibanding beli kopi kekinian atau jajan tiap hari, saya pilih ngopi di rumah dan bawa bekal.
Teman saya bahkan punya cara yang lebih kreatif. Ia jualan makanan ringan di kantor. Keuntungannya langsung dimasukkan ke dalam amplop bertuliskan "Kurban". Dalam 5 bulan, dia sudah dapat lebih dari separuh harga kambing. Katanya, jualannya sekalian sedekah juga.
Saya juga belajar membedakan mana kebutuhan, mana keinginan. Tiap kali ingin beli sesuatu, saya tanya ke diri sendiri, "Apakah ini lebih penting daripada niat ikut kurban?" Pertanyaan itu ajaib. Banyak pengeluaran impulsif akhirnya batal, dan dananya masuk ke tabungan.
Ikut kurban itu tidak hanya soal uang, tapi juga soal mindset. Kalau dari awal merasa "nggak bakal bisa", ya pasti nggak akan mulai. Tapi begitu kita yakini bahwa insyaAllah bisa, maka langkah-langkah kecil pun jadi terasa berarti.