Keputusan PSSI untuk tidak memanggil Elkan Baggott dalam skuad Timnas Indonesia untuk laga penting melawan China dan Jepang memicu perdebatan hangat. Apalagi, keberadaan Elkan di Bali sempat menumbuhkan harapan akan kembalinya sang bek jangkung ke pelukan Merah Putih.
Namun, alih-alih bergabung, Elkan justru memilih untuk tetap fokus ke klubnya di Inggris. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh perwakilan PSSI yang menegaskan bahwa Elkan sudah dimintai konfirmasi dan memilih menomorsatukan klub terlebih dahulu.
Di satu sisi, kita bisa memahami bahwa pemain profesional tentu memiliki tanggung jawab terhadap klubnya. Namun di sisi lain, perlu juga digarisbawahi bahwa membela negara, terutama setelah menjalani proses naturalisasi, semestinya menjadi prioritas utama.
Elkan Baggott bukanlah pemain lokal biasa. Ia adalah pemain naturalisasi yang telah mendapatkan status WNI demi bisa memperkuat Timnas Indonesia. Proses ini bukan sekadar administratif, tapi juga menyangkut janji dan komitmen kebangsaan.
Ketika seorang pemain bersedia pindah kewarganegaraan demi bermain di level internasional, ada tanggung jawab moral dan nasionalisme yang seharusnya tumbuh bersamaan. Ketidakhadiran Elkan kali ini justru memunculkan tanda tanya tentang seberapa besar rasa memiliki itu ada dalam dirinya.
PSSI tampaknya tidak mau lagi terjebak pada pemain yang setengah hati. Dengan stok pemain belakang seperti Jay Idzes, Justin Hubner, Jordi Amat, Rizky Ridho, hingga Mees Hilgers, pertahanan Garuda kini tidak bisa dianggap remeh.
Justru ini menjadi momentum untuk menegaskan bahwa Timnas bukanlah tempat bagi mereka yang menjadikan merah putih sebagai opsi kedua. Jika klub lebih penting, maka biarlah PSSI dan pelatih fokus kepada mereka yang sepenuhnya siap dan bangga mengenakan lambang Garuda.
Dalam banyak kasus sebelumnya, kita sering melihat pemain keturunan yang hanya muncul saat turnamen besar, atau ketika posisi mereka di klub sedang tidak jelas. Hal ini tidak boleh menjadi pola baru dalam pembentukan skuad nasional.
Nasionalisme seorang pemain bukan diukur dari jumlah pertandingan yang dimainkan, tapi dari kesiapannya membela negara kapan pun dibutuhkan. Bahkan ketika itu bertabrakan dengan agenda pribadi atau liburan.
Publik Indonesia punya ekspektasi tinggi terhadap pemain-pemain naturalisasi, apalagi yang berasal dari kompetisi luar negeri. Mereka dianggap sebagai aset berharga. Tapi aset itu baru bermanfaat jika mau hadir dan memberi kontribusi nyata.