Mohon tunggu...
Mukhamad Kurniawan
Mukhamad Kurniawan Mohon Tunggu... Buruh -

Buruh. Seluruh tulisan mewakili diri. Mari menyalakan lilin. Bukan mengutuk kegelapan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pola Berulang di Lokasi Penggusuran

30 Mei 2015   20:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:26 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari yang tenang di Balai Kota Jakarta Jumat (22/5/2015) siang. Pegawai lalu lalang di selasar bersiap shalat Jumat. Lalu serombongan orang datang. Ada sekitar 20 orang di antaranya adalah anak-anak berseragam sekolah dasar. Mereka menyebut diri sebagai korban penggusuran.

Berdiri di luar gerbang. Mereka berunjuk rasa menolak pengosongan lahan di daerah Pinangsia, Jakarta Barat. Pemerintah menuding hunian di sekitar saluran air di kawasan itu liar. Rencananya, bangunan akan dibongkar untuk melebarkan saluran, sekaligus membangun jalan inspeksi.

Petugas keamanan internal lalu datang. Mereka menemui beberapa perwakilan dan mempersilakan masuk ke Balai Kota Jakarta. Ketika itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat bersiap menemui para pengunjuk rasa, mewakili Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang tengah menyelesaikan agenda.

Pertemuan berakhir menjelang tengah siang. Walhasil, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersikukuh menjalankan rencana. Ada 940 rumah di sepanjang sekitar 2,8 kilometer saluran yang akan dibongkar untuk jalan. Pemerintah mengklaim telah menyediakan rumah susun untuk relokasi.



Hari berganti, waktu penggusuran kian dekat. Dua alat berat mendekat ke lokasi, Selasa (26/5/2015) pukul 19.00. Warga merasa terteror. Mereka lalu berkumpul dan berencana datang ke rumah pribadi Ahok di Pantai Mutiara di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Tanpa rencana, mereka akhirnya datang ke Pantai Mutiara, unjuk rasa tengah malam. Polisi dibikin heboh. Namun, tak ada hasil malam itu.

Rencana pengosongan telah bulat. Keesokannya, alat berat pun bergerak, menghantam dan merobohkan bangunan. Penghuninya kalang kabut. Sebagian telah pindah dan menempati rumah susun. Sebagian bertahan, tetapi tanpa daya menahan laju aparat dan alat berat. Sejumlah orang datang ke Balai Kota Jakarta menyuarakan kegelisahan.

Ahok bergeming. Tuntutan penghentian pembongkaran dia abaikan. Premisnya selalu sama soal pengosongan lahan negara. ”Mereka yang menolak tawaran rumah susun, yang paling kencang bersuara, adalah mereka yang mendapat untung pribadi darinya. Merekalah pemilih rumah kontrakan, indekos, tempat usaha yang untung di atas tanah negara.” Berulang Ahok menyuarakannya.

14329912331751402360
14329912331751402360


Premis itu didapat dari serangkaian pengosongan. Di era Gubernur Joko Widodo (Jokowi), premis itu diuji pertama kali. Buktinya? Ahok seperti diteguhkan, bahwa tak ada argumen yang pas untuk membela orang-orang yang menduduki area hijau, bantaran kali, pinggiran waduk, dan saluran. Oleh karenanya, dia kukuh meski bolak-balik dihantam dengan isu melanggar hak asasi manusia (HAM).

Argumen melanggar HAM dengan mudah Ahok balik, ”Jika keberadaan penghuni dan bangunan liar itu justru membuat aliran tak lancar, menimbulkan banjir, dan merugikan kepentingan orang yang lebih besar, siapa sebenarnya pelanggar HAM sebenarnya?” Di awal tahun 2013, ketika pembongkaran bertubi-tubi di sisi barat Waduk Pluit, Jokowi-Ahok bahkan diancam digugat oleh sejumlah kelompok.

Bagaimana hasil gugatan itu? Jokowi-Ahok justru mendapat dukungan besar. Keduanya berargumen, pengosongan lahan yang mereka tempuh bukan lagi menggusur sebagaimana rezim sebelumnya, melainkan ”menata” dan menegakkan aturan. ”Kami tawarkan tempat tinggal yang lebih nyaman, legal, dan uang sewa lebih murah, bukan sekadar menggusur tanpa solusi,” kata Ahok.

Hingga beberapa hari sejak pembongkaran bangunan di Pinangsia, beberapa keluarga bertahann di lokasi. Mereka mendirikan tenda. Inilah bentuk perlawanan yang bagi Ahok seperti mengulang pola-pola sebelumnya. Premisnya masih sama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun