Mohon tunggu...
Mukafi
Mukafi Mohon Tunggu... Mahasiswa

tulisan adalah suara sunyi, tidak berisik namun tersampaikan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

DPR: si tukang stempel dari senayan

28 Maret 2025   14:00 Diperbarui: 28 Maret 2025   14:23 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: demonstrasi penolakan RUU TNI di Surabaya)

Dewan Perwakilan Rakyat menjadi salah satu lembaga negara yang kedudukannya disebutkan didalam UUD 1945. berdasarkan UUD 1945 tersebut menempatkan DPR menjadi lembaga legislatif yang ada di Indonesia.

seperti yang kita ketahui bersama bahwa lembaga-lembaga negara yang ada di Indonesia menganut konsep trias politika. konsep trias politika sendiri merupakan konsep pembagian dan/atau pemisahan kekuasaan yang dikemukakan pertama kali oleh John Locke dan dikembangkan lagi oleh Montesquieu. pembagian kekuasaan tersebut meliputi Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. konsep ini ada dengan tujuan agar disebuah negara tidak ada kekuasaan yang bersifat absolut dan tidak sewenang-wenang. Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang menganut konsep ini dengan menggunakan prinsip checks and balance. prinsip checks and balance berarti setiap lembaga mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki peranan mengawasi antar lembaga-lembaga tersebut.

Dalam konteks ini DPR lah yang menjadi kekuatan utama dalam melakukan pengawasan terutama terhadap kinerja-kinerja eksekutif termasuk usulan pembentukan/revisi undang-undang dari pemerintah atau yang biasa kita kenal dengan inisiatif eksekutif. DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif tentunya memiliki fungsi utama yang salah satunya adalah membentuk, melakukan revisi, dan mengesahkan undang-undang. dengan kekuasaan ini maka DPR menjadi ujung tombak atas pengesahan undang-undang.

namun yang terjadi hari ini adalah DPR tidak lebih dari sekedar tukang stempel kebijakan dan usulan-usulan pemerintah, sehingga prinsip checks and balance hanya menjadi bunga tidur di negara ini.

Seperti halnya yang terjadi akhir-akhir ini terkait dengan disahkan nya RUU TNI menjadi UU. mereka tidak mempedulikan gelombang penolakan yang terjadi ditengah masyarakat. bukan hanya rakyat sipil yang tidak dipedulikan, para akademisi-akademisi pun juga ikut menolak RUU tersebut. penolakan terhadap RUU yang sekarang sudah menjadi UU itu didasarkan karna dinilai dengan disahkannya RUU TNI, pemerintah bersama DPR telah mengulang luka sejarah kelam pada zama orde baru, dimana ada peluasan TNI menduduki ruang-ruang atau jabatan-jabatan sipil. hal ini menjadi sebuah penghianatan terhadap supremasi sipil dan tidak seharusnya tumbuh di dalam negara demokrasi karena potensi besar akan terjadi politik komando. negara yang menganut prinsip demokrasi harus jauh dari lembaga-lembaga yang antik demokratik seperti halnya dengan TNI sehingga tidak terjadi yang namanya politik komando. jauh-jauh dari lembaga yang anti demokratik artinya lembaga-lembaga tersebut tidak boleh berada di ruang-ruang sipil seperti halnya yang terjadi saat ini.

Pada akhirnya, DPR hanya menjadi tukang stempel di senayan. semua kebijakan diambil berdasarkakn hasrat kepentingan oligarki, bukan kepentingan rakyat. sehingga konsep trias politika dengan prinsip checks and balance yang kita agung-agungkan semasa kuliah itu tidak lebih dari sekedar buayan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun