Peluncuran Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP) pada 21 Juli 2025 di Klaten, Jawa Tengah, menandai babak baru penguatan ekonomi kerakyatan dan kemandirian desa. Program strategis nasional yang menargetkan 80.000 koperasi ini tidak hanya berfokus pada distribusi kebutuhan dasar seperti pangan atau LPG, tetapi juga merambah sektor vital yaitu transformasi kesehatan.
Integrasi apotek dan klinik desa ke dalam ekosistem KDMP, didukung Kemenkes dan BUMN farmasi, adalah langkah revolusioner yang menyimpan potensi besar sekaligus membentangkan tantangan yang signifikan pada transformasi kesehatan pada lini terdepan di tingkatan desa.
Secara operasional dan bisnis, model integrasi ini menjanjikan efisiensi skala dan pemerataan layanan kesehatan. Berdasarkan penjelasan Menkes, KDMP akan membangun jaringan distribusi kesehatan primer yang masif dengan mengubah Puskesmas Pembantu (Pustu) dan Poskesdes menjadi Klinik dan Apotek Desa di setiap lokasi koperasi. Di mana BUMN farmasi akan menjadi tulang punggung logistik untuk memastikan ketersediaan obat, baik untuk program pemerintah maupun yang dijual. Ini berarti, obat program gratis tetap tersedia, sementara obat esensial sehari-hari bisa diakses dengan harga terjangkau, menciptakan margin keuntungan bagi unit bisnis koperasi.
Selain itu, pemerintah juga menopang program ini dengan alokasi APBN, sekitar Rp 500 juta per desa untuk operasional layanan dasar, serta Rp 1 miliar untuk pembangunan/renovasi dan alat kesehatan. Dukungan finansial ini memastikan masyarakat tetap mendapat layanan esensial gratis, sekaligus memberikan dasar bagi koperasi untuk mengembangkan unit bisnis kesehatannya secara berkelanjutan.
Dari sisi kesehatan, inisiatif ini adalah lompatan besar dalam aksesibilitas layanan primer. Data Kemenkes menunjukkan bahwa lebih dari 50% Pustu di Indonesia masih memiliki keterbatasan sumber daya manusia dan fasilitas, bahkan beberapa di antaranya belum berfungsi optimal.
Dengan rencana transformasi sebagian Pustu menjadi Klinik Koperasi Merah Putih, ditambah pembangunan apotek di desa-desa, akses masyarakat terhadap pemeriksaan kesehatan dasar dan obat-obatan esensial akan semakin dekat. Ini krusial, mengingat masih banyak masyarakat pedesaan yang harus menempuh jarak puluhan kilometer ke Puskesmas terdekat, atau bahkan ke kota, hanya untuk mendapatkan layanan kesehatan sederhana atau membeli obat. Pendekatan ini dapat secara signifikan mengurangi angka keterlambatan penanganan penyakit yang seringkali berujung pada komplikasi serius.
Namun, di balik program yang baik ini, kita harus realistis menghadapi tantangan yang kompleks. Pertama, kapasitas pengelolaan koperasi. Banyak koperasi di tingkat desa masih memiliki kapasitas manajerial dan keuangan yang terbatas. Mengelola unit bisnis apotek dan klinik, yang memerlukan standar operasional tinggi, regulasi ketat, dan manajemen stok farmasi yang presisi, adalah level yang berbeda dari sekadar mendistribusikan pupuk. Diperlukan program pelatihan dan pendampingan intensif dari Kemenkop serta BUMN farmasi secara berkelanjutan, bukan hanya di awal. Tanpa tata kelola yang kuat, risiko penyimpangan, salah urus stok, hingga praktik farmasi yang tidak sesuai standar akan tinggi.
Kedua, ketersediaan dan retensi tenaga kesehatan berkualitas. Indonesia masih menghadapi tantangan distribusi dokter dan tenaga medis yang tidak merata. Data IDI menunjukkan bahwa rasio dokter di Indonesia masih di bawah standar WHO (sekitar 0,4 per 1.000 penduduk), dan sebagian besar terkonsentrasi di perkotaan. Merekrut dokter, perawat, dan apoteker berkualitas untuk menetap dan bekerja di desa-desa, apalagi dengan insentif yang mungkin belum setara dengan fasilitas di kota, adalah pekerjaan rumah besar. Program insentif khusus, beasiswa ikatan dinas, dan pengembangan karier yang jelas harus disiapkan.
Ketiga, keberlanjutan finansial. Bagaimana model bisnis klinik dan apotek ini akan bertahan di desa-desa dengan daya beli masyarakat yang mungkin rendah? Apakah hanya mengandalkan penjualan obat dan jasa konsultasi? Diperlukan model subsidi silang, misalnya integrasi dengan program BPJS Kesehatan, atau bahkan diversifikasi pendapatan koperasi agar unit kesehatan ini tidak hanya menjadi beban. Tanpa model keuangan yang kuat, ribuan klinik dan apotek ini bisa bernasib sama dengan beberapa BUMDes yang akhirnya mati suri atau bubar karena masalah keuangan.
Melihat potensi dan tantangan tersebut, keberhasilan KDMP akan sangat ditentukan oleh strategi pengawalan dan monitoring yang presisi. Pemerintah perlu menetapkan KPI yang jelas untuk setiap fase. Dalam 6 bulan pertama, fokus pada sinkronisasi perizinan, pelatihan dasar, dan ketersediaan stok awal di 10-20% target koperasi.Â