Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

"Orang-orang Biasa", Mereka Bodoh tapi Gembira

20 Agustus 2019   15:58 Diperbarui: 21 Agustus 2019   19:09 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Orang-orang Biasa karya Andrea Hirata (dok.pribadi)

Terutama nilai matematika mereka semua bak tentara tiarap, terutama Dinah. Ia bukan tokoh sentral. Meski demikian, lantaran pusaran kerumitan hidup yang Dinah alami, sepuluh berkawan sejak kecil itu kembali berkumpul.

Setelah ditinggal mati suami, ia mencukupi segala-galanya dengan menjual mainan anak-anak. Saban hari pula terus main kejar-kejaran dengan pamong praja. Jualan, diusir, dikejar, pindah, jualan, diusir, dikejar, dan jualan lagi begitu berulang-ulang. Pulang tidur di kosan yang sempit, ia dan anaknya, harus berbagi tempat tidur dengan semua mainan itu.

Dalam sejarah, hal-hal istimewa sering muncul dari kondisi chaos, kacau balau. Aini, anak sebiji yang Dinah miliki muncul dengan potensi yang tidak disangka-sangka. Tabah sekali ia belajar tanpa kenal waktu. Dipendamnya kuat-kuat keinginan menjadi dokter.Tedorong ayahnya yang dulu ia rawat hingga meninggal tanpa tahu mesti berbuat apa.

Dinah kaget bukan kepalang, Aini akhirnya lulus Fakultas Kedokteran. Berbanding terbalik dengan ibunya dulu yang tiap hari kena setrap. Kemudian, seperti kita ketahui bersama, lakon nyata dalam kehidupan kaum miskin papa, tidak pernah ada uang untuk membayar harganya. Meski hanya uang pendaftaran ulang.

Dinah dilingkupi lingkaran syaiton yang biasa menjerat orang-orang miskin negeri ini. Ia tidak punya aset (barang/uang) untuk menjangkau akses (pendidikan). Sebaliknya juga tidak punya akses menuju aset. 

Masalah keuangan yang tidak terurai sampai anak-anak mereka beranak pinak. Dinah sudah pasrah tidak mewariskan apapun pada Aini selain rupa-rupa mainan untuk dijajakan berkeliling. Kemiskinan menjelma dalam bentuk begitu rupa dan beragam. Melilit dari segala arah.

Cerita-cerita orang biasa itu, sesungguhnya dimulai dari sini. Mereka akan merampok bank yang akan dipakai mendaftarkan Aini di Fakultas Kedokteran.

Bersepuluh pun Mereka Gagal

Minus sehari menuju hari H, sepuluh berkawan masih gamang merampok bank. Keyakinan mereka masuk kantor polisi lebih hebat dibanding keberhasilan merampok. Seperti martir, mereka sudah melakukan agenda terakhir laiknya yang jamak dilakukan terpidana sebelum dihadapkan ke regu tembak: menulis wasiat.

Berhasilkah mereka merampok bank? Apakah mereka benar-benar tertangkap? Apakah Aini berhasil kuliah di Kedokteran? Banyak yang perlu sekaligus tidak begitu perlu dicari tahu. Berhasil atau tidak, itu perkara lain.

Selepas peristiwa nan menggemparkan seisi kota masing-masing kembali melanjutkan hidup dengan bahagia. Berkat peristiwa itu, mereka akhirnya tahu cara menari-nari dalam kegetiran dan kesusahan hidup. Dengan tidak menggadaikan apa yang penting dalam hidup mereka: kejujuran. Seperti gambaran penulis sendiri:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun