Gelombang informasi yang sangat deras memasuki segala lini kehidupan kian susah dibendung bahkan bagai air bah tsunami menerjang dan membanjiri setiap celah-celah kehidupan umat manusia di seluruh dunia. Dalam buku Mood and Mobility, Navigating The Emotional Spaces of Digital Social Network yang ditulis Richard Coyne, menurut CEO Google, Eric Schmidt dan Direktur Google Ideas, Jared Cohen bahwa "pada tahun 2025, mayoritas penduduk dunia, dalam satu generasi, akan beralih dari tidak memiliki akses terhadap informasi tanpa filter menjadi memiliki akses terhadap semua informasi dunia melalui perangkat yang muat di telapak tangan." Hanya melalui gawai yang digenggam telapak tangan, sesorang bisa mengakses informasi apapun semaunya dan sepuas hatinya sehingga melayang dalam hidup penuh mimpi jauh dari realitasnya yang sesungguhnya. Pikiran dan emosinya hanyut terbawa segala informasi yang  dinikmatinya tanpa sikap kritis dan membuang waktu tanpa merasa rugi sedikitpun.
Mayoritas penduduk bumi merasakan situasi tersebut diatas, mereka banyak kehilangan jati diri dan bahkan lupa akan dirinya tentang masa depannya. Teknologi informasi di telapak tangannya telah menghipnotis dan menjerat efek ketagihan yang sangat melenakan, setiap detik setiap waktu selalu membuka gawai dan bermain asyik dengan berbagai platform dan aplikasi media sosial yang tersedia, sungguh memabukkan ! Kondisi demikian sangat rawan digunakan dan dimanfaatkan untuk penataan penduduk dunia sesuai menurut kehendak penguasa teknologi informasi, terutama yang bersifat konten. Melalui konten-konten yang mengandung pesan-pesan tertentu akan mengubah fikiran, pandangan dan sikap seseorang mengikuti kemauan si pembuat konten. Sampai disini, pendidikan bersikap dan berfikir kritis bagi masyarakat menjadi sebuah kebutuhan penting dan strategis agar setiap orang mampu mengkritisi semua informasi yang berada di gawai genggamannya.
Berfikir kritis itu apa ? yaitu kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi dan memahami informasi serta isu-isu dalam konteks dirinya dan sosial yang kompleks dengan cara yang logis dan obyektif. Mampu memverifikasi sumber informasi, membedakan fakta dari opini, mengenali bias, dan mempertimbangkan berbagai perspektif untuk menghindari disinformasi. Menumbuhkan sikap berfikir kritis ini tidak mudah, perlu belajar dan berlatih serius tiada henti agar kemudian pada akhirnya menjadi prilaku yang automaticlly bekerja saat menerima informasi dari media sosial. Berfikir kritis ini akan menyelamatkan diri dari kooptasi narasi-narasi yang membelokkan, bahkan bisa saja menjerumuskan.Â
Dalam konteks sosial kebangsaan, berfikir kritis dimaksud memiliki peran penting dan strategis dalam mempertahankan jati diri bangsa. Nilai-nilai luhur mulia yang telah menjadi budaya dan prilaku bangsa bisa dipertahankan dari generasi ke generasi sehingga identitas sebuah bangsa tetap terpelihara dan tetap menjadi bagian dari peradaban dunia. Nilai-nilai luhur mulia bangsa Indonesia tetap bersifat universal dari zaman ke zaman, tidak ada yang kuno karena nilai-nilai modernitas belum tentu baik bagi kehidupan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, penanaman sikap berfikir kritis merupakan conditio sine qua non, sebuah keniscayaan yang harus dilakukan mengingat pentingnya identitas bangsa dalam percaturan dunia dan menghindari upaya penyeragaman masyarakat dunia dalam satu nilai kehidupan tertentu. Bangsa Jepang, Korea, Rusia dan Cina sudah membuktikan kemajuan bangsa dan negara ditopang kuat oleh nilai-nilai luhur mulia dari budaya dan jati dirinya. Bukan dengan menelan mentah-mentah informasi modern yang berseliweran di semua perangkat teknologi informasi.
Dengan demikian jelaslah bahwa Berfikir kritis merupakan bagian penting dan strategis dari memelihara kedaulatan bangsa. Untuk memelihara kedaulatan bangsa ini harus dimulai dari kedaulatan diri sendiri dengan memiliki sikap berfikir kritis yang kuat dan kokoh agar tidak mudah diguncang gelombang informasi yang membelokkan dan melunturkan identitas bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, setiap orang harus mengedukasi lingkungannya masing-masing demi tumbuhkembangnya sikap berfikir kritis di tengah masyarakat untuk memperkuat benteng kedaulatan bangsa. Edukasi demikian juga bisa dilakukan dimulai dari masjid, musholla dan majelis ta'lim yang berada di lingkungan masing-masing, bukankah sikap berfikir kritis itu perintah Allah SWT, dimana dalam Al-Qur'an sering ditegaskan afalaa ta'qiluun, afalaa tatafakkaruun dan bahkan ada surat yang menjelaskan urgensinya Iqro'.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI