Klimaksnya, karena masing-masing sudah kerasukan "nafsu kemanusiaan" yang kasar dan jahat, akibatnya dua-duanya babak belur dan jatuh ke sungai, hanyut terbawa arus besar.
Kedua kambing betina itu pun akhirnya sama-sama wafat eh... meninggal, eh...tewas dengan mengenaskan dan sia-sia. Nyawa mereka melayang akibat sikap keras kepala, egois, dan tidak ada yang mau mengalah. Bahkan, maunya menang dan benar sendiri bak manusia yang tidak punya hati, akal pikiran, dan mengabaikan nilai-nilai (agama, moral, etika, dst).
Sepertinya, "kedua kambing betina" itu harus mengikuti diklat "revolusi akhlak" dulu. Supaya tidak tuna akhlak, dan benar-benar menjadi kambing yang memiliki sifat "prikekambingan", seperti cerita dua kambing betina yang selamat dan hidup damai dalam fabel pertama itu.
Dan jangan sampai mengikuti model manusia yang sok suci, intoleran, selalu mengumbar kata-kata kasar dan kotor.Â
Manusia berjubah, berkalung sorban, berkedok agama, mencatut dan meneriakkan nama Tuhan, sembari melakukan kekerasan, pelecehan, periskan, diskriminasi, dan rasisme, yang justru jauh dari akhlak, moral, etika, nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
Belajarlah pada fabel dua kambing betina yang pertama. Mereka hidup berdampingan penuh toleransi, saling menghormati, saling menyayangi, menebar kebaikan dan kasih sayang, berakhlakulkarimah dan bermoral terpuji. Hidup bersama dalam kondisi nirkekerasan, tanpa diskriminasi, dan penuh kedamaian.
Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Silih asah, silih asuh, silih asih. Tabik.