Coba bandingkan dengan kondisi saat ini. Kabarnya, di sejumlah kota di Jatim, banyak klub senam ibu-ibu PKK yang mendatangi para calon anggota dewan. Mereka berjanji akan memilih anggota dewan tersebut asal dia sudi mengucurkan bantuan dana.
Ternyata, satu klub senam tidak hanya mendatangi satu calon atau satu partai. Satu klub senam bisa berjanji (atau membual) pada beberapa calon atau partai.
Fenomena ini setidaknya menunjukkan jika masyarakat sudah cerdas dan tidak sudi dikibuli politik uang. Lebih dari itu, mereka malah memperdaya banyak politisi dan partai. Jika dulu, yang main politik uang adalah politisi. Saat ini, elemen masyarakat yang "menguangkan politik".
Menyentil Religiusitas
Buku ini memiliki bidang bahasan yang berlapis-lapis. Keistimewaan ini tentu tak lepas dari pengetahuan dan pengalaman Cak Nun yang beraneka rupa dari berbagai sisi.
Pria yang kini berdomisili di Kadipiro Yogyakarta ini adalah seorang pengamat negara, budayawan, seniman, dan sering juga ditahbiskan orang sebagai pemuka agama. Maka itu, dia tak hanya sanggup memelototi perkara teknologi modern, ekonomi pasar, politik hingga kultur. Namun juga menyentil soal religiusitas.
Di esai Berkatalah Sufi: "Ia mati, Alhamdulillah"(hal: 234), terdapat pandangan yang satir sekaligus sufistik. Betapa saat ini sebagian orang masih berpikiran bahwa kenyaman hidup yang bersifat materi adalah tujuan utama. Manusia ikhlas bersusah payah untuk mendapatkan hidup yang serba foya-foya di masa datang.
Bahkan, ibadah bukan lagi menjadi suatu yang sakral atau ruang intim antara Tuhan dan hamba. Melainkan sudah menjadi semata-mata alat atau sarana meminta semua yang enak-enak di dunia ini. Agama jadi cermin materialisme yang didekap makhluk.Â