Mohon tunggu...
Muhammad Viki Riandi
Muhammad Viki Riandi Mohon Tunggu... Founder Komunitas Sayang Jiwa dan Otak | Founder Lingkar Yatim Khatulistiwa

Seorang hamba yang sangat bergantung pada Rabb-nya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Semakin Akrab, Semakin Kehilangan Adab

13 Oktober 2025   11:42 Diperbarui: 13 Oktober 2025   11:42 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia memang makhluk sosial. Sejak lahir, kita membutuhkan orang lain untuk bertumbuh, berkembang, dan merasa utuh. Dari sinilah terjalin berbagai bentuk hubungan baik dengan keluarga, sahabat, rekan kerja, hingga pasangan hidup. Awalnya, hubungan-hubungan itu dibangun dengan rasa hormat, saling menjaga ucapan dan tingkah laku. Namun, ada satu fenomena menarik yang sering muncul akhir-akhir ini yaitu sebuah keadaan sosial dimana seseorang jika semakin dekat dalam sebuah hubungan, justru semakin banyak adab, dan batas yang dilupakan.

Ketika perkenalan baru dimulai, manusia cenderung mengaktifkan apa yang oleh psikologi sosial disebut sebagai impression management, usaha untuk menampilkan diri sebaik mungkin di hadapan orang lain. Kata-kata dipilih dengan hati-hati, sikap ditata agar tidak salah langkah, dan perhatian lebih banyak tercurah untuk menjaga kenyamanan. Akan tetapi, ketika hubungan mulai akrab, "topeng sosial" ini perlahan dilepaskan. Keaslian memang muncul, tetapi bersama dengan itu sering kali lahir pula kelalaian menjaga adab. Lisan menjadi lebih lepas, sikap lebih sembrono, dan candaan kadang berubah menjadi ejekan yang menyakitkan..

Saya pernah menyaksikan sekaligus mengalami sendiri bagaimana hubungan yang awalnya penuh hormat dan kehangatan berubah arah ketika keakraban mulai melampaui batas. Dahulu, kami baik dalam lingkaran pertemanan maupun keluarga saling menjaga tutur kata, saling mendengar dengan seksama, dan menaruh perhatian pada perasaan satu sama lain. Ada rasa segan yang indah, yang membuat kebersamaan terasa menenangkan.

Namun, seiring waktu, kedekatan yang semakin erat ternyata membawa sisi lain. Rasa nyaman berubah menjadi kebiasaan yang sering kali kelewat batas. Saya pernah merasakan ketika candaan yang dilontarkan tidak lagi sekadar lucu, melainkan menyinggung hal-hal yang seharusnya dijaga. Saya juga melihat bagaimana orang-orang yang dulu berhati-hati dalam bersikap, kini justru bebas berkata apa saja tanpa memikirkan dampaknya. Terkadang, karena merasa akrab, mereka lupa bahwa setiap orang tetap memiliki ruang pribadi yang harus dihargai.

Ada satu momen yang masih jelas saya ingat. Dalam sebuah perbincangan ringan, seseorang yang saya anggap dekat melontarkan komentar yang menusuk hati. Komentar itu mungkin dimaksudkan sebagai gurauan, namun bagi saya, kalimat itu terasa meremehkan dan menyakitkan. Anehnya, ketika saya mencoba mengingat masa-masa awal hubungan itu terjalin, ia adalah orang yang paling berhati-hati memilih kata-kata, seolah tak ingin melukai. Perubahan itu membuat saya merenung lama,  mengapa semakin dekat, justru semakin berani melanggar batas adab ?.

Pengalaman lain pun tak kalah menggetarkan. Saya melihat teman yang hubungannya begitu akrab dengan sahabatnya, akhirnya renggang karena terlalu sering saling melempar candaan kasar. Apa yang awalnya dianggap sebagai tanda keakraban, justru berubah menjadi luka yang tak terucap. Sampai akhirnya, mereka berjarak. Bukan karena pertengkaran besar, melainkan karena akrab tanpa adab perlahan mengikis rasa hormat dan kepercayaan.

Kisah-kisah seperti ini bukan hanya milik saya, melainkan bisa jadi pernah atau sedang dialami banyak orang. Dan dari pengalaman itu saya belajar, bahwa keakraban sejati bukan diukur dari seberapa bebas kita bisa berkata atau bersikap, melainkan dari seberapa dalam kita tetap mampu menjaga rasa hormat meskipun hubungan terasa dekat. Akrab tanpa adab hanya akan membuat hubungan rapuh, sementara akrab dengan adab akan membuat hubungan langgeng dan berharga.

Fenomena ini dalam psikologi dikenal dengan istilah boundary erosion atau "erosi batas." Hubungan yang dekat membuat batas-batas pribadi (personal boundaries) melebur, sehingga seseorang merasa wajar untuk melampaui ruang privasi atau mengucapkan hal-hal yang sebetulnya tidak pantas. Fakta menunjukkan, dalam keluarga misalnya, konflik yang paling sering muncul justru bukan dengan orang asing, melainkan dengan mereka yang tinggal serumah. Studi dari Journal of Marriage and Family (2020) mengungkapkan bahwa komunikasi negatif dalam keluarga sering dipicu oleh "rasa terlalu nyaman" sehingga anggota keluarga merasa bebas bersikap tanpa filter. Hal serupa terjadi dalam hubungan pertemanan dan pasangan.

Dalam Psikologi komunikasi menjelaskan bahwa humor, yang dalam dosis sehat bisa mempererat hubungan, dapat berubah menjadi aggressive humor, yaitu humor yang merendahkan, menyindir, atau mengolok-olok orang lain. Riset oleh Martin et al. (2003) menyebutkan bahwa penggunaan aggressive humor dalam jangka panjang berpotensi merusak kualitas hubungan, meskipun pada awalnya dianggap sekadar candaan. Luka yang ditimbulkan dari "gurauan" sering kali tidak terlihat, tetapi tetap meninggalkan bekas dalam ingatan emosional seseorang.

Dalam dunia kerja pun demikian. Studi yang dipublikasikan di Harvard Business Review (2018) menyoroti bahwa "kelekatan berlebihan" antar-rekan kerja kadang memunculkan perilaku yang melampaui batas profesionalitas, seperti terlalu ikut campur dalam urusan pribadi atau menggunakan bahasa yang tidak pantas di lingkungan kerja. Hal ini bukan hanya merusak hubungan antarindividu, tetapi juga dapat menurunkan kinerja tim secara keseluruhan.

"Jika kita menoleh pada ajaran agama, khususnya Islam, kita menemukan keseimbangan yang indah. Rasulullah Shalaullahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan bahwa kedekatan tidak pernah menjadi alasan untuk melupakan adab. Beliau bercanda dengan sahabat-sahabatnya, tetapi tidak pernah melukai. Beliau dekat dengan keluarga, tetapi tetap lembut dan penuh penghormatan. Hadits yang masyhur mengingatkan kita, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam." Prinsip ini sejalan dengan temuan ilmiah bahwa kata-kata yang positif dan sikap penuh hormat adalah perekat utama dalam hubungan jangka panjang."

Fakta menarik lain datang dari dunia neuropsikologi. Penelitian di Frontiers in Psychology (2019) menemukan bahwa pengalaman emosional negatif yang berasal dari orang terdekat justru lebih berdampak pada otak dibandingkan pengalaman yang sama dari orang asing. Artinya, satu ucapan menyakitkan dari sahabat, keluarga, atau pasangan dapat membekas lebih lama dan lebih dalam dibandingkan dari orang lain. Inilah mengapa adab dalam hubungan dekat menjadi begitu penting..

Pada akhirnya, setiap hubungan manusia, baik pertemanan, keluarga, pekerjaan, maupun ikatan sosial yang lebih luas akan selalu menuntut keseimbangan antara kedekatan dan penghormatan. Kita bisa saja merasa akrab, nyaman, bahkan seakan tanpa batas dengan seseorang. Namun, justru di situlah ujian adab sesungguhnya. Kedekatan bukanlah alasan untuk mengabaikan sopan santun, bukan pula pembenaran untuk mengucapkan kata-kata yang melukai atau bersikap sewenang-wenang.

"Dari kajian psikologi sosial, kita belajar bahwa hubungan yang sehat dibangun atas dasar mutual respect, penghargaan timbal balik. Ketika keakraban melampaui batas tanpa etika, yang terjadi bukanlah kedalaman hubungan, melainkan keretakan yang pelan-pelan merusak kepercayaan. Dari perspektif agama dan nilai-nilai moral, kita diajarkan bahwa adab lebih tinggi daripada sekadar ilmu dan perasaan. Sebab adab adalah cara menjaga diri, menjaga orang lain, dan menjaga kualitas ikatan yang terjalin."

Maka, yang bisa kita pelajari adalah bahwa kenyamanan dalam hubungan tidak boleh membuat kita kehilangan kontrol. Kita perlu melatih diri untuk tetap menjaga tutur kata, menghargai ruang pribadi, menempatkan sikap pada waktunya, serta tahu kapan harus bercanda dan kapan harus serius. Sederhana, tetapi sering terlupakan: akrab itu indah, tapi santun membuatnya lebih berharga.

Dengan demikian, seharusnya kita bersikap tidak hanya dengan perasaan, tetapi juga dengan kesadaran. Kesadaran bahwa setiap kata bisa membangun atau meruntuhkan, dan setiap sikap bisa menguatkan atau melemahkan. Jika adab tetap menjadi fondasi, maka keakraban akan melahirkan ketulusan, bukan kepahitan. Jika akhlak tetap dijaga, maka hubungan yang dekat tidak akan membuat kita lalai, melainkan semakin menumbuhkan rasa hormat yang mendalam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun