Mohon tunggu...
Muhammad Viki Riandi
Muhammad Viki Riandi Mohon Tunggu... Founder Komunitas Sayang Jiwa dan Otak | Founder Lingkar Yatim Khatulistiwa

Seorang hamba yang sangat bergantung pada Rabb-nya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sambas-Sarawak, Menyulam Kembali Jejak Alam Melayu di Ujung Pulau Borneo

30 Juni 2025   12:39 Diperbarui: 1 Juli 2025   11:24 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Dewan Undangan Negeri (DUN) Sarawak, Malaysia. Bangunan ikonik berbentuk payung ini menjadi simbol kekuasaan legislatif negeri Sarawak (Dokpri)

Jika kita berdiri di tepi Sungai Sambas pada pagi hari, saat kabut masih bergelayut di atas air, dan suara azan subuh bergema dari masjid tua di seberangnya, terasa ada sesuatu yang melampaui sekadar pemandangan indah. Ada jejak yang hidup, napas sejarah yang masih bernyawa.

Dan jika kita mengarahkan pandangan ke utara, melintasi hutan, dan perbukitan yang menjadi bagian dari tubuh pulau Borneo, kita akan sampai ke Sarawak, negeri tetangga yang terasa begitu dekat, bahkan lebih dekat secara kultural, dan emosional daripada sebagian wilayah lain di tanah air kita sendiri.

Inilah dua saudara dalam satu rahim sejarah, Sambas dan Sarawak, rantau yang tidak pernah benar-benar terputus, meski dunia modern mencoba membelahnya dengan garis batas negara.

Sebagai seseorang yang lahir, dan besar di Kalimantan Barat, saya tidak hanya membaca kisah ini di buku sejarah, tapi menghirupnya dari cerita-cerita orang tua, dari pasar lintas batas, dari silaturahim keluarga yang tersebar di dua sisi negara.

Relasi antara Sambas, dan Sarawak bukanlah hubungan yang baru diciptakan oleh proyek kerja sama antarnegara, atau forum lintas batas ASEAN. Ia jauh lebih tua, berakar dari peradaban Melayu yang melintas batas sungai, bahasa, dan kepercayaan. Hubungan dengan kawasan utara seperti Sarawak sudah menjadi bagian dari lanskap politik, dan budaya yang tak terhindarkan.

Jauh sebelum negara Indonesia, dan Malaysia lahir, tanah Borneo bagian barat laut adalah bagian dari jaringan peradaban Melayu yang luas. 

Wilayah Sambas telah dikenal sejak abad ke-15 sebagai pusat perdagangan, pemerintahan, dan dakwah Islam. Kesultanan Sambas berdiri sekitar tahun 1609, didirikan oleh Raden Sulaiman, putra Sultan Brunei yang menikah dengan bangsawan Sambas.

Inilah salah satu simpul awal keterhubungan politik, dan budaya antara Sambas, dan wilayah Sarawak yang saat itu masih dalam pengaruh Kesultanan Brunei.

 Masjid Jami' Sultan Muhammad Syafiuddin II  dibuat pertama-tama pada  10 Oktober 1885 M/qoobah.co.id
 Masjid Jami' Sultan Muhammad Syafiuddin II  dibuat pertama-tama pada  10 Oktober 1885 M/qoobah.co.id

Sungai-sungai besar seperti Sungai Sambas, dan Batang Lupar bukan sekadar aliran air, tetapi nadi yang menghubungkan komunitas-komunitas Melayu di dua sisi.

Bahasa, adat-istiadat, dan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat Sambas, dan Melayu Sarawak nyaris serupa menunjukkan bahwa mereka berasal dari akar yang sama, dengan pengaruh Islam sebagai pemersatu utamanya sejak abad ke-16.

"Hingga kini banyak orang tak menyadari bahwa Sambas, dan Sarawak dulunya tidak dibatasi oleh imajinasi negara seperti sekarang. Di masa lalu, sungai bukanlah pemisah, tapi penghubung. Orang Sambas berdagang ke hulu, menikah dengan orang Melayu Serawak, dan begitu pula sebaliknya. Perpindahan penduduk antara Sambas, dan wilayah Sarawak seperti Lundu, Bau, hingga Kuching bukan hal langka. Bahkan, masih banyak keluarga hari ini yang terbagi dua kewarganegaraan karena sejarah itu. Ada yang tinggal di Tebedu, tetapi punya keluarga di Jagoi Babang. Ada yang berasal dari kampung Melayu di Kuching, tetapi memegang warisan tanah di Sambas. Ini bukan kebetulan, tapi warisan dari masa ketika identitas dibentuk oleh adat, dan agama, bukan oleh paspor, dan visa."

Lalu datanglah masa kolonialisme, dan segalanya berubah. Inggris masuk ke Sarawak melalui James Brooke pada 1841, menjadikannya wilayah kekuasaan pribadi yang kemudian berubah menjadi koloni Inggris. Sementara Belanda mengukuhkan cengkeramannya atas Sambas dan sekitarnya.

Di sinilah garis batas mulai terbentuk. Bukan hanya batas fisik, tetapi juga batas sistem pendidikan, birokrasi, bahkan cara pandang. Sarawak tumbuh dengan pengaruh Inggris, hukum umum, administrasi modern, dan sistem proteksi lokal. Sambas, dengan warisan Belanda, berkembang dengan gaya administrasi Eropa daratan dan segregasi sosial yang lebih terasa.

Tapi semua itu tak pernah cukup kuat memutus rasa: bahasa yang tetap serumpun, Islam yang tetap menjadi napas bersama, serta adat Melayu yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Pasca kemerdekaan, Sambas menjadi bagian dari Indonesia, dan Sarawak dari Malaysia. Masa konfrontasi tahun 1963-1966 sempat menjadi babak gelap dalam hubungan keduanya. Pemerintah Indonesia di masa itu menentang pembentukan Federasi Malaysia, dan perbatasan menjadi wilayah penuh ketegangan.

Foto makam Sultan Tengah, putra Sultan Brunei. Keturunannya membangun dinasti kerajaan Sambas/sambas today
Foto makam Sultan Tengah, putra Sultan Brunei. Keturunannya membangun dinasti kerajaan Sambas/sambas today

Namun sejarah tak pernah bisa dibungkam sepenuhnya. Selepas konfrontasi, hubungan perlahan kembali pulih. Masyarakat di perbatasan kembali menjalin hubungan sosial, budaya, dan ekonomi secara informal.

Banyak warga Sambas yang memiliki keluarga di Sarawak, dan sebaliknya. Bahkan sampai hari ini, pernikahan antarwarga lintas batas tetap berlangsung. 

Perjalanan darat dari Sambas menuju Sarawak melalui pintu Entikong, atau Aruk kini menjadi saksi bisu bahwa peradaban yang dulu satu kini berusaha menyatu kembali secara damai.

Seperti air sungai yang mengalir tak bisa dibendung, hubungan antarwarga tetap berlangsung dalam diam, dalam sembunyi, dalam ikatan darah, dan budaya. Dan setelah konfrontasi mereda, perlahan-lahan hubungan itu tumbuh kembali, lebih kuat, dan sadar akan nilai persaudaraan.

Dalam dua dekade terakhir, hubungan antara Kalimantan Barat dan Sarawak menguat kembali melalui diplomasi perbatasan. Forum-forum seperti Indonesia-Malaysia Border Committee, kerja sama Pemda Sambas dengan pihak Serian, atau Lundu (kawasan perbatasan Sarawak), serta event budaya lintas negara menjadi alat pemersatu yang penting.

Namun tantangan tak sedikit. Infrastruktur perbatasan masih timpang. Menurut data Kementerian PUPR tahun 2023, pos lintas batas di Aruk, dan Entikong baru mampu melayani sekitar 500--700 orang per hari secara maksimal. Selain itu, kebijakan perdagangan dan karantina dari kedua negara sering berubah-ubah, membuat pengusaha dan pedagang kecil kesulitan bergerak.

Meski begitu, potensi ekonomi luar biasa besar. Komoditas seperti ikan, kopi, durian, dan kerajinan Sambas laris di pasar Sarawak. Sebaliknya, barang kebutuhan rumah tangga dari Kuching masuk dengan harga kompetitif. Ekonomi perbatasan tumbuh bukan karena negara, tapi karena rakyat yang tetap merasa serumpun.

Kini, hubungan Sambas, dan Sarawak memasuki babak baru. Dalam dua dekade terakhir, hubungan ekonomi perbatasan mengalami geliat signifikan. 

Menurut data Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), dan Kementerian Perdagangan, ratusan ton barang dari Kalimantan Barat masuk ke Sarawak setiap bulan, mulai dari sayur-mayur, ikan, kopi, hingga kerajinan tangan.

Sebaliknya, Sarawak mengisi toko-toko di perbatasan Indonesia dengan kebutuhan rumah tangga, tekstil, dan makanan kemasan. Harga yang lebih murah, akses yang lebih mudah, dan rasa saling percaya membuat perbatasan ini hidup seperti nadi ekonomi rakyat kecil.

Lebih dari sekadar perdagangan, budaya juga menjadi jembatan penting. Festival budaya Melayu yang diselenggarakan di Sambas, dan Kalimantan Barat pada umumnya kerap dihadiri oleh delegasi dari Sarawak.

Pertukaran pelajar, kerja sama antar-pesantren, bahkan kolaborasi seni seperti pertunjukan zapin, dan syair lintas negara menjadi bukti bahwa hubungan ini tak hanya hidup, tapi tumbuh dengan kreatif.

Bahkan tak jarang, masjid-masjid di wilayah perbatasan mengundang penceramah dari seberang untuk mengisi tabligh akbar, atau peringatan hari besar Islam. Dakwah pun menjadi lintas batas, menghidupkan semangat keagamaan yang serumpun dan saling menyemangati.

Sebagai penulis, dan pemerhati kebudayaan Melayu di Kalimantan Barat, saya menyaksikan langsung bagaimana masyarakat Sambas mempertahankan adat Melayu mereka.

Bahasa yang digunakan di pedalaman Sambas, dan di kampung-kampung Melayu Sarawak seperti di Lundu, atau Bau nyaris identik. Bahkan, dialek Sambas-Melayu kini menjadi salah satu penguat identitas budaya yang diperjuangkan melalui seni tutur, syair, dan pantun.

Sambas, dan Sarawak adalah contoh hidup dari bagaimana identitas budaya, dan sejarah bisa lebih kuat dari sekadar batas politik. Di tengah derasnya globalisasi dan krisis identitas, relasi keduanya bisa menjadi model alternatif pembangunan berbasis akar budaya lokal dan solidaritas sejarah.

Tapi harapan tetap ada. Saya percaya, masa depan Sambas, dan Sarawak terletak pada kemampuan kita untuk menyadari bahwa sejarah tidak pernah benar-benar membelah kita. Bahwa bahasa, adat, dan agama yang kita warisi dari nenek moyang tetap menjadi simpul yang mengikat erat.

Dalam dunia yang semakin diglobalisasi dan kerap kehilangan identitas, justru kekayaan lokal seperti ini yang harus dijaga dan diberdayakan.

Hubungan Sambas dan Sarawak bukan hanya narasi masa lalu, tapi potensi masa depan potensi untuk membangun ekonomi kerakyatan lintas batas, pendidikan berbasis nilai budaya, dan kerja sama yang berpijak pada rasa saling memiliki.

Di ujung cerita ini, saya teringat satu ungkapan tua yang sering saya dengar di kampung yakni,

 "Sekuat apapun angin memukul pohon, akar yang dalam tak akan tumbang." 

Begitu pula hubungan Sambas, dan Sarawak. Meski diterpa politik, kolonialisme, dan dinamika zaman, akar sejarah, budaya, dan iman yang menyatukan keduanya tetap kuat.

Kini, tugas kitalah untuk menyiramnya, menjaganya, dan membiarkannya tumbuh menjadi pohon besar yang menaungi masa depan serumpun yang damai, dan sejahtera.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun