Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Artikel Utama

Membaca Dekonstruksi Melalui Fenomena Password Wifi

10 Maret 2022   11:21 Diperbarui: 11 Maret 2022   16:54 1878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Wifi (Freepik/rawpixel.com)

"Saya hanya berbicara satu bahasa, dan itu bukan bahasa saya sendiri" -Jaques Derrida

Wifi mungkin dapat disebut sebagai messiah (penyelamat) bagi mereka yang lalai tidak memiliki kuota, bahkan WiFi pada titik radikalnya dapat menjadi hal fundamental yang mendasari eksistensi manusia di dunia digital.

Hal demikian dijustifikasi oleh Baudrillard dalam konsepnya tentang simulasi yang kemudian dilanjutkan oleh giddens bahwa posisi-posisi sosial manusia kontemporer itu ditentukan oleh kehadirannya di dalam dunia digital, membuat manusia sebagai makhluk fisikal menjadi objek-objek digital yang mana eksistensi manusia direduksi di sana.

Jika di dalam dunia fisikal manusia itu ber-ada menggunakan suatu konsep-konsep jiwa, maka di dalam dunia digital manusia itu berada menggunakan jaringan jaringan media. Yang mana medianya dibangun oleh jaringan yang disokong oleh wi-fi. Di sini kita dapat melihat betapa krusialnya wi-fi pada kehidupan manusia dalam membentuk eksistensinya.

Wifi sendiri memiliki suatu demarkasi (batas) sosial antara mana yang dapat dan tidak dapat menggunakannya, batas tersebut adalah password. Yang mana password wifi ini secara tautologis dapat menentukan eksistensi manusia di alam digital, password wifi secara anologis dapat disebut sebagai tiket masuk ke dunia (dalam hal ini dunia digital).

Refleksi Semiologi Password WiFi


Sumber : Editan Pribadi
Sumber : Editan Pribadi
Password WiFi sebagai suatu fenomena (layaknya fenomena lain) terdiri dari tanda (sign), password Wifi dalam konteks tuturan memiliki skema fonetik (suara) yang kompleks, dapat kita lihat ketika penutur password mengatakan bahwa password-nya ialah 'matamuficek', kesadaran kita secara intensional dapat menangkapnya sebagai 'matamuvicek' karena ada kemiripan fonetis antara 'f' dan 'v'.

Citra fonetik yang abstrak itu akan direpresentasikan secara sinkronik menjadi suatu bentuk-bentuk tekstual-fisikal (huruf) penyusun skema tanda password Wifi, bentuk-bentuk itu akan di isi dalam kolom password yang mana kesalahpahaman akan berakibat fatal. 

Password Wifi sebagai suatu sistem bahasa jelas memiliki cara kerja budayanya, semisal dalam citra fonetik tadi bagaimana kesadaran mengalami kesalahpahaman dalam membentuk (menyusun citra fonetik dalam bentuk fiaikal) 'f' dan 'v' atau 'r' dan 'l'. Kesalahpahaman ini terjadi karena latar belakang kesadaran.

Pembentukan kesadaran tiap subjek, seperti yang dikatakan oleh Jaques Lacan, itu dilatari oleh budaya di sekitarnya.

Csikszentmihalyi juga mengatakan bahwa informasi budaya (meme) di sekitar subjek sangat berpengaruh dalam pembangunan kecerdasannya.

Citra fonetik dan pembentukan fisikal dengan demikian sangat ditentukan oleh latar budaya yang ada, kebiasaan mendengar huruf 'f' akan membentuk kebiasaan membentuk huruf 'f' ketika citra suara yang ada sesuai dengannya, termasuk ketika password 'matamuvicek' diterima kesadaran.

 Jelas persoalan citra fonetik tak lepas dari fungsi biologis, orang cadel akan menjadi kasus menarik di sini, sebab orang cadel memiliki budaya berbahasa yang lain dari manusia biasanya.

Penanda Tanpa (sans) Petanda (Signified Without Signifier)

Sumber : 
Sumber : 
Semiologi strukturalis mengatakan bahwasanya Tanda itu tersusun oleh penanda dan petanda mengilustrasikan, bahwa penanda dan petanda itu layaknya suatu kertas yang mana sisi depan dan belakang kertas tak dapat terpisah. Dengan demikian petanda sebagai makna selalu mengikuti penanda sebagai kata (semisal kata 'kursi' sebagai penanda selalu terkait dengan 'benda untuk duduk' sebagai petanda).

Paham ini dikritik oleh seorang filsuf post-strukturalis yakni Jaques Derrida.

Bagi Derrida penanda tak selalu terkait dengan petanda, penanda hanyalah terkait pada penanda-penanda lain yang tak terhitung jumlahnya.

Semisal, penanda 'kursi' yang sebenarnya tak terikat dengan petanda 'benda untuk duduk', sebab 'benda untuk duduk' sendiri sebenarnya bukanlah petanda, melainkan kumpulan penanda ('benda', 'untuk', 'duduk'), yang bila dikaitkan lagi akan tak terbatas jumlahnya.

Password WiFi sebagai tanda (yang dalam kajian strukturalis tersusun dari penanda dan petanda) sebenarnya tak memiliki petanda yang hierarkis.

Contoh, ketika ada WiFi ber-password 'mukamubengep' bukan berarti ia bermakna 'muka kamu sedang bengep', password tersebut hanyalah sebuah kata/tanda yang tak memiliki makna di dalamnya.

Demikian pula password yang berbunyi 'pesankopidulu' tak musti bermakna kita harus pesan kopi terlebih dahulu baru mengetahui passwordnya, namun 'pesenkopidulu' lah password itu sendiri.

Pemaknaan memesan kopi dulu baru dapat password ketika mendengar password 'pesenkopidulu', lahir dari suatu transendensi makna yang seolah-olah hadir dalam suatu tanda (kalimat/kata), ada suatu struktur hierarkis di sana yang menimbulkan suatu asumsi pemaknaan yang spontan ketika membaca suatu tanda (seolah petanda itu hadir di balik penanda).

Password Wifi di sini mereduksi ikhwal-ikhwal logosentrisme (kehadiran makna transenden) dalam bahasa, di mana password Wifi dapat mengusir kehadiran makna dalam suatu tanda melalui penghadiran ketidakhadirannya.

Hasrat Mimetik (momen penundaan), Ikhwal Dekonstruksi Dalam Password WiFi

Sumber : Editan pribadi
Sumber : Editan pribadi
Dapat kita lihat ada suatu momen penundaan dalam interpretasi tuturan password WiFi, semisal ketika kita bertanya apa passwordnya, ada yang menjawab passwordnya '1sampai8' maka biasanya kita akan menulisnya dengan '12345678'.

Fenomena ini terjadi sebab ada suatu hasrat mimesis dalam kesadaran, yakni hasrat menghadirkan prioritas ontologis yang lebih awal datang ke dalam kesadaran ketimbang hal yang datang sesudahnya, ketika mendengar password '1sampai8' hasrat mimesis itu spontan mengkonsepnya menjadi '12345678' karena ada prioritas ontologis di sana. 

Hasrat mimetik sendiri dapat direduksi ketika ada pengacauan ontologis dalam kehadiran makna, semisal dalam kasus password '1sampai8' yang mereduksi prioritas pemaknaan '12345678'. Password Wifi sebagai suatu skema di sini berhasil membuat kacau suatu term transenden yang melekat menjadi hasrat mimesis manusia.

Dan lagi diskursus dalam bunyi password Wifi hampir tak dapat direduksi (mempertanyakan mengapa passwordnya '1sampai8' bukan '12345678'). Sebab, password Wifi secara panpsikis (semesta berkesadaran) tak hanya menghadirkan kesadaran manusia, tetapi juga kesadaran benda.

Bahwa password Wifi telah menjadi kesadaran benda, bahwa jika password yang dimasukkan tak sesuai dengan password yang diatur, maka ia takkan diterima. Di sini kesadaran manusia secara dialektis akan tunduk dalam kesadaran benda (mesin Wifi).

Password Wifi hanya dapat direduksi ketika sistem Wifinya dirubah (ganti password) sampai ia sesuai dengan kesadaran penggunanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun