Pertama, gelar sebagai modal sosial. Adanya gelar dapat menguntungkan kita ketika terjun ke dalam ranah masyarakat luas, karena memberi stimulus kepercayaan akan keahlian kita yang telah diuji oleh intitusi legal-formal.
Kedua, gelar sebagai modal kultural. Bourdieu membaginya ke dalam 3 tahapan yakni:
1. Embodied state (pengetahuan yang mengubah pandangan hidup)
2. Object state (perwujudan pandangan hidup menjadi material)
3. Institutionalized state (legitimasi formal)
Mungkin gelar sendiri sudah dapat dikatakan kompleks apabila diuji menggunakan 3 hal tersebut, tapi kita lebih memasukkan kritik atas penalaran pada pembahasan berikutnya.
Setelah kita mengetahui kegunaan gelar dalam kehidupan, apakah kita juga dapat menggunakannya dalam penalaran?
Tentunya hal itu dapat dikatakan relatif (walau semestinya tidak), karena penalaran seperti yang saya singgung di paragraf pertama hingga ketiga, berasal dari pengetahuan dan kecakapan kita untuk menghadapi suatu persoalan/permasalahan.
Lalu apa yang terjadi apabila gelar lebih diutamakan ketimbang nalar? Maka sudah dapat dipastikan bahwa pengetahuan tak lagi berbasis intelektual, tapi hanya akan mengacu pada substansi-substansi legal dan formal.
Untuk para orang-orang bergelar di indonesia, saya harap nalar tetap diutamakan ketimbang gelar. Sebab dengan nalar lah manusia dapat melewati seleksi alam dan simpang siur pengetahuan hingga saat ini.
Terima kasih. Share bila manfaat, kalau ada salah kata saya mohon maaf, menerima kritik dan sarannya.