Mohon tunggu...
Zulkifli Muhammad
Zulkifli Muhammad Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Just Ordinary People

Menulis untuk sebuah pembebasan...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Merenungkan Kebesaran dan Ke-Mahakuasaan Allah

26 Juni 2014   06:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:51 1465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MATERI DAN SYAHWAT YANG MELEMAHKAN

Hiruk pikuk kehidupan dunia dengan segala warna dan bentuknya, hampir senantiasa meluputkan manusia dari perenungan dan kontemplasi akan eksistensi dirinya dalam cakrawala kosmos sebagai bagian dari subsistem alam semesta. Padahal keberadaan Alam semesta tidak akan paripurna tanpa kehadiran manusia sebagai khalifatullah. Dapat dipahami memang bahwa lingkaran materi dan syahwat memiliki daya pikat luar biasa, ibarat magnet yang mampu menarik manusia keluar dari orbit fitrahnya sebagai insan berfikir dan berdzikir.

Padahal sebelum manusia terlahir ke dunia fana, Allah Rabbul Jalil telah meminta persaksian setiap anak Adam akan Kebesaran dan Kemahakuasaan-Nya atas diri-diri mereka? Tanpa memberikan persaksian ini, maka tidak satupun manusia yang dapat terlahir dan memperoleh “tiket” untuk mengarungi bahtera kehidupan dunia. Namun karena bujuk rayu syahwat dan materi, mayoritas manusia justru tenggelam dalam kubangan hedonisme dan melalaikan persaksiannya di hadapan Allah.

Ke-Mahabesaran serta Ke-Mahakuasaan Allah adalah konsep sekaligus kebenaran mutlak yang tak terelakkan oleh akal pikiran manusia. Setiap insan yang beriman akan Ke-Esaan Allah tentu membenarkan bahwa Allah adalah Dzat yang Mahabesar dan Mahakuasa. Namun sejauh mana konsep ini dapat menggetarkan sanubari manusia menjadikannya hamba yang tunduk, ruku’ dan sujud, sangat tergantung pada sejauh mana kemampuannya dalam mengoptimalkan potensi nalar dan spiritualnya.

Kisah Nabi Ibrahim alaihis salam (1900 S.M) kiranya patut untuk menjadi teladan ketika beliau berkontemplasi dengan alam semesta mencari eksistensi Sang Pencipta manusia dan Alam Semesta, beliau mengerahkan seluruh potensi nalar dan spiritualnya yang akhirnya mengantarkan ia pada sebuah sintesa transenden bahwa segala sesuatu yang timbul dan tenggelam, datang dan pergi, patah tumbuh hilang dan berganti, tidak mampu mempertanggung jawabkan keberadaannya sendiri. Sesuatu yang tidak dapat mempertanggung jawabkan adanya sendiri tentunya tidak layak menyandang predikat sebagai Pencipta. Oleh karena itu matahari, bulan dan bintang bukanlah Tuhan sebagaimana hipotesa awalnya. Apa yang dilakukan oleh Ibrahim alaihis salam ini ternyata merupakan prototipe dari teori kontingensi yang belakangan hari dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225 – 1274 M) sebagai salah satu bangunan argumentasinya tentang eksistensi Pencipta Alam Semesta.

Diakui memang bahwa Ke-Mahabesaran dan Ke-Mahakuasaan Allah Rabbul Jalil, tentunya tak dapat dijangkau oleh rasio (ratio) manusia yang begitu relatif dan terbatas pada alam empiris. Apa yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan itulah yang dapat berinteraksi dengan rasio manusia. Bahkan Allah Rabbul Jalil sebagai pencipta manusia yang paling tahu keterbatasan hamba-Nya dalam sebuah hadits qudsi yang mashur, menyatakan :

“Aku telah persiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh segala sesuatu yang belum pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah terbetik dalam hati manusia”.

Hal ini menyiratkan bahwa Allah Rabbul Jalil mengetahui bahwa manusia dengan rasionya  tidak mampu menjangkau apa yang ada disisi-Nya apalagi lebih jauh yang berkaitan dengan Dzat-Nya, karena pengetahuan dan pemahaman manusia terbatas pada apa yang dapat di inderanya.

Namun perlu dipahami bahwa rasio manusia bukanlah anasir tunggal yang mengkonstruksi akal pikiran manusia. Selain rasio, akal pikiran manusia juga dikonstruksi oleh rasa (sense). Sehingga Ratio dan Sense adalah dua anasir yang mengkonstruksi akal pikiran manusia. Dengan demikian, sesuatu yang tidak rasional tidak serta merta menjadi tidak masuk akal. Akal pikiran manusia dapat bekerja tidak terbatas pada alam empiris semata tetapi memiliki daya abstraksi yang luas menerima segala kemungkinan hukum alam pada setiap dunia yang mungkin selama itu memenuhi standar logika dan akal sehat.

Masuk pada intisari persoalan, bagaimana Ke-Mahabesaran dan Ke-Mahakuasaan Allah dapat kita pahami melalui pendekatan ratio dan sense tersebut ? Hal ini dapat diabstraksi melalui proses analogi dan perbandingan dengan dukungan Ilmu Pengetahuan. Dalam sebuah hadits, Nabiyullah Muhammad pernah melukiskan betapa mahaluasnya Arsy Allah, dalam sebuah hadistnya beliau bersabda :

“Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di padang sahara yang luas, dan keunggulan ‘Arsy atas Kursi seperti keunggulan padang sahara yang luas itu atas cincin tersebut.”

Jika hadist ini semata-mata diperhadapkan pada rasio manusia, maka substansinya akan menjadi sulit untuk dicerna. Hadist yang dinyatakan oleh Nabiyullah Muhammad sejak lebih kurang 14 abad yang lalu diimani sebagai suatu kebenaran tanpa betul-betul pernah disadari dan dipahami apa sebenarnya makna sejati yang terkandung di dalam pernyataan beliau.

Kita pun tentunya sering mengumandangkan Takbir : Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Baik di waktu sedang shalat maupun di waktu dan tempat yang lain. Namun apakah kita menyadari dan pernah bertanya kepada diri kita sendiri, ada apa dengan kalimat tersebut dan mengapa penggunaannya selalu digandengkan dengan Nama Allah ? Akbar dalam bahasa Arab menggunakan wazan Af'ala yang merupakan tingkatan tertinggi dariShigah At-Tafdhil (bentuk pengagungan), yang bermakna : sifat yang paling dan tidak ada lagi yang melampauinya.

SEBERAPA BESARKAH UKURAN ALAM SEMESTA ?

Sebagai ilustrasi untuk dapat lebih memahami pertanyaan ini, mari kita mengambil contoh kota paling besar di dunia sebagai titik acuan, yaitu Kota Tokyo dengan total populasi 33,7 juta jiwa dan luas wilayah 13.500 km². Bisa jadi kita berasumsi bahwa Kota Tokyo sangatlah luas. Tidak ada yang menyangsikan betapa luasnya kota ini, apalagi bagi mereka yang sudah pernah datang berkunjung. Coba bandingkan dengan kota Jakarta dengan total populasi 9.603.417 jiwa dan luas wilayah 664, 01 km², praktis luas kota Tokyo mencapai 20 kali lipat luas kota Jakarta dan kepadatannya 4 kali lipat kepadatan kota Jakarta.

Namun bila kita melihat kota Tokyo pada ketinggian mata ± 1500 km dengan menggunakan alat bantu google earth, ternyata kota Tokyo yang awalnya begitu luas hanya sebesar sebuah noktah yang terintegrasi dalam suatu pulau yaitu Pulau Honshu.

Selanjutnya jika kita melihat lebih jauh pada ketinggian mata ± 15.000 km, ternyata Pulau Honshu hanyalah sebuah pulau yang terintegrasi pada benua asia. Dan seterusnya benua asia merupakan wilayah daratan yang terintegrasi dengan wilayah lautan dan ke-empat benua lainnya membentuk seluruh tampak dan luasan bumi.
Tentunya secara logika kita tidak lagi secara apriori akan mengatakan bahwa kota Tokyo masih lebih luas bila dibandingkan dengan bumi secara keseluruhan. Selanjutnya bumi ternyata tidak bersendirian. Bumi merupakan salah satu planet yang membentuk sistem tata surya disamping planet-planet lainnya yang mengorbit pada matahari.
Ukuran diameter bumi adalah 12.743 km dengan keliling 40.000 km, menurut kita jarak ini mungkin sudah sangat jauh, namun ternyata dalam tata surya kita ada Planet Jupiter yang memiliki diameter 139.822 km, dengan demikian planet ini memiliki ukuran lebih besar sepuluh kali lipat dari planet bumi. Bagaimana dengan kota Tokyo tadi bila dibandingkan dengan Planet Jupiter ini ?
Seluruh planet – planet ini termasuk bumi selain berputar pada porosnya juga berotasi mengelilingi matahari. Matahari adalah sebuah bintang yang memiliki daya gravitasi yang mampu mempertahankan planet – planet tersebut tetap berputar pada garis edarnya. Matahari memiliki ukuran yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan seluruh planet – planet yang ada dalam tata surya. Matahari memiliki diameter 1.391.684 km, 108 kali lipat lebih besar daripada diameter bumi dan 10 kali lipat lebih besar dari diameter Jupiter.

Kalau begitu apakah matahari adalah yang terbesar ? Sebelum kita menarik kesimpulan, coba kita bandingkan Matahari ini dengan bintang –bintang yang lain.

Dengan demikian jika ada yang secara apriori berasumsi bahwa matahari adalah yang terbesar, maka jelas ini keliru karena ternyata masih ada bintang lain yang berlipat-lipat jauh lebih besar dari Matahari. Antares memiliki diameter 804.672.000 km, 578 kali lipat lebih besar dari Matahari. Baik Matahari, Arcturus, Antares dan semua bintang lainnya hanyalah beberapa dari ratusan milyar bintang yang terintegrasi membentuk galaxi bimasakti (milky way). Galaxi Bimasakti memiliki ukuran 30 Miliyar km.

Seterusnya galaxi Bimasakti adalah salah satu dari sekian ribu galaxi yang terintegrasi membentuk cluster. Ribuan cluster saling terintegrasi membentuk super cluster, dan ribuan super cluster terintegrasi membentuk jagad raya (universe).

Apakah berhenti sampai disini ? Perlu diketahui bahwa semua pengetahuan ini diperoleh berkat kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di bidang astronomi. Dengan menggunakan bantuan teleskop ruang angkasa Hubble para ilmuwan dapat memetakan kosmos sampai pada tingkatan super cluster. Namun demikian teleskop ini memiliki keterbatasan yang hanya dapat menjangkau jarak 15 milyar tahun cahaya ( 1 tahun cahaya = 300.000 km), sementara lebar jagad raya ini diperkirakan mencapai 30 milyar tahun cahaya. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dicapai manusia dengan segala kecanggihan yang mendukungnya ternyata tidak mampu memberikan penggambaran yang sempurna tentang seberapa besar dan bagaimana wujud alam semesta ini. Sangat dimungkinkan bahwa super cluster tersebut ternyata merupakan kerangka serta penyusun dimensi alam semesta yang jauh lebih tinggi lagi.

EKSISTENSI ALAM SEMESTA DAN KE-MAHABESARAN ALLAH

Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru dunia ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terang kepada mereka, bahwa al-Quran ini suatu kebenaran. Belumkah cukup bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu "

Bila kita merenungkan Firman Allah dalam Surah Al-Fushilat ayat 53 diatas maka bisa jadi semua pengetahuan yang dicapai manusia pada era millenium ini adalah bagian dari janji Allah yang sudah terealisasi.

Ketika manusia telah mengetahui bahwa kota-kota besar yang mereka tinggali, bahkan bumi, bahkan tata surya yang mereka huni besarnya bahkan berlipat-lipat jauh lebih kecil tak jauh lebih besar dari sebutir debu dibandingkan dengan hamparan jagad raya mahaluas. Demikian pula ketika manusia mengetahui dirinya bila dibandingkan dengan ukuran jagad raya, tak ubahnya seperti mikroba yang hanya dapat dilihat dengan nano mikroskop. Seharusnya dengan capaian ilmu yang menakjubkan seperti ini, manusia tentunya menjadi insan yang paling memahami, menyadari dan beriman atas Ke-Mahabesaran Allah dibandingkan mereka yang beriman dimasa-masa awal peradaban melalui nubuat para Nabi semata-mata karena motivasi keyakinan.

Eksistensi jagad raya yang mahaluas tanpa diragukan juga memiliki relevansi yang erat dan menjadikan masuk diakal permisalan dalam sebuah hadits qudsi ketika Allah berfirman melalui lisan Nabi-Nya bahwa ilmu manusia bila dibandingkan dengan ilmu Allah, ibarat air yang menetes dari jari setelah terlebih dahulu dicelupkan ke dalam samudera. Apa yang melekat dijari, itulah perumpamaan ilmu yang dimiliki manusia. Adapun Samudera adalah perumpamaan ilmu Allah. Lalu bagaimana ilmu manusia yang hanya setetes air itu mampu menjangkau ilmu Allah yang seluas samudera ?

Dengan demikian kesimpulan yang dapat kita tarik, bahwa ilmu manusia yang terbatas pada alam empiris, tidak mampu menjangkau dan memberikan penggambaran yang seutuhnya tentang wujud paripurna alam semesta, apalagi hendak ditujukan untuk menjangkau Ke-Mahabesaran dan Ke-Mahakuasaan Allah. Mustahil. Namun demikian Ilmu Pengetahuan dan teknologi canggih yang dicapai manusia paling tidak merupakan instrumen penting yang bisa mengantarkannya pada pemahaman bahwa dirinya bukanlah apa-apa dan bukanlah siapa-siapa bila dibandingkan dengan alam semesta yang mahaluas. Sehingga dengan demikian sudah sepatutnya manusia tunduk dan bersujud dihadapan Allah Rabbul Jalil sembari mengumandangkan kalimat : Allahu Akbar !

http://web.inilah.com/read/detail/2038084/10-kota-terbesar-dan-terlengkap-di-dunia/4649/tokyo-jepang#.U6pkbZSSz2Y

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun