Mohon tunggu...
Muharom Munjidah
Muharom Munjidah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Melukis, membaca, dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurikulum Berganti, Kualitas Tetap: Saatnya Fokus pada Akar Masalah Pendidikan Indonesia

2 Juni 2025   06:44 Diperbarui: 2 Juni 2025   06:44 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejak era Reformasi, Indonesia telah mengalami setidaknya lima kali pergantian kurikulum nasional: Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Kurikulum 2013, dan kini Kurikulum Merdeka. Tiap kurikulum datang dengan semangat dan jargon baru. Namun, yang tidak kunjung berubah adalah kualitas peserta didik kita. Hasil asesmen internasional menunjukkan stagnasi yang mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 oleh OECD, skor rata-rata siswa Indonesia untuk membaca (370), matematika (379), dan sains (383) masih jauh di bawah rata-rata OECD (sekitar 480--500). Bahkan, lebih dari 70% siswa Indonesia gagal mencapai tingkat kompetensi minimum dalam membaca dan numerasi (OECD, 2023).

Kondisi ini menyiratkan bahwa perubahan kurikulum selama lebih dari dua dekade belum berdampak signifikan pada kemampuan esensial peserta didik. Perubahan lebih terasa pada tataran dokumen dan istilah, ketimbang praktik nyata di ruang kelas. Salah satu persoalan mendasar adalah absennya evaluasi menyeluruh sebelum melakukan pergantian kurikulum. Pergantian kurikulum sering kali ditentukan oleh perubahan pimpinan kementerian, bukan oleh hasil kajian longitudinal berbasis data. Prof. Suyanto (2020), mantan Dirjen Dikdasmen Kemendikbud, pernah mengkritik bahwa setiap menteri ingin menciptakan warisan, meskipun belum tentu mempertimbangkan kesinambungan atau efektivitas kebijakan sebelumnya.

Perubahan kurikulum sering kali terlalu fokus pada kerangka kerja atau model pembelajaran, namun tidak menjawab tantangan utama di kelas: rendahnya keterampilan literasi, numerasi, dan berpikir kritis. Banyak guru merasa perubahan ini bersifat administratif dan normatif, bukan transformatif. Alih-alih fokus mengajar, guru dibebani pembuatan modul ajar, asesmen diagnostik, dan laporan administratif.

Sementara itu, pendekatan top-down masih mendominasi. Di banyak daerah, terutama sekolah di pelosok, Kurikulum Merdeka terasa terlalu "berorientasi kota". Padahal, kemampuan guru, fasilitas sekolah, dan akses informasi sangat tidak merata.

Karena pendidikan bukan hanya soal kurikulum. Pendidikan adalah ekosistem. Tanpa peningkatan kualitas guru, infrastruktur, budaya belajar, dan peran keluarga, maka kurikulum baru pun akan gagal mengubah keadaan. Darmaningtyas (2021), pengamat pendidikan, menyatakan, "Kurikulum hanyalah alat. Tanpa guru yang memahami dan mampu menerapkannya, perubahan apapun hanya akan jadi formalitas."

Daripada mengganti kurikulum secara berkala, Indonesia seharusnya fokus pada implementasi dan penguatan sistem pendukung. Beberapa langkah strategis antara lain:
- Evaluasi berbasis data atas pelaksanaan Kurikulum Merdeka, bukan hanya berdasarkan persepsi.
- Pelatihan guru yang mendalam dan berkelanjutan, bukan seminar satu arah.
- Penguatan komunitas belajar guru (KKG, MGMP) untuk berbagi praktik baik.
- Peningkatan budaya literasi dan numerasi sejak dini, dengan melibatkan peran keluarga dan masyarakat.

Pendidikan bukan proyek lima tahunan. Ia adalah investasi lintas generasi. Mengganti kurikulum tanpa menyentuh akar masalah hanya akan menghasilkan kebijakan tambal sulam. Sudah saatnya kita berhenti menjadikan kurikulum sebagai alat pencitraan, dan mulai membangun pendidikan dari dasar: guru yang kompeten, siswa yang berpikir kritis, dan lingkungan belajar yang inklusif.

Daftar Pustaka

Darmaningtyas. (2021). Pendidikan: Antara Gagasan dan Realitas. Jakarta:

LP3ES.

OECD. (2023). PISA 2022 Results (Volume I): The State of Learning and Equity 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun