Sejarah Indonesia tidak hanya ditulis oleh para jenderal, politisi besar, atau tokoh terkenal yang sering muncul dalam buku pelajaran. Ada pula sosok sederhana, dengan pangkat rendah, namun keberaniannya melampaui banyak orang.Â
Salah satu dari mereka adalah Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Sadsuitubun, seorang putra Maluku Tenggara yang gugur dalam tragedi Gerakan 30 September 1965. Meski tidak pernah menjadi pusat perhatian, namanya kini tercatat sebagai Pahlawan Revolusi, satu-satunya anggota kepolisian yang mendapat kehormatan tersebut.
Lahir dari Tanah Maluku
Karel lahir pada 14 Oktober 1928 di Tual, Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Ia berasal dari keluarga sederhana. Sejak kecil, ia hidup dalam suasana keterbatasan, namun semangatnya besar. Pendidikan formalnya tidak panjang, tetapi ia memiliki tekad kuat untuk mengabdi. Saat itu, Indonesia baru saja merdeka, dan kebutuhan akan aparatur negara masih sangat besar. Karel kemudian memilih bergabung dengan kepolisian, bukan sekadar untuk bekerja, tetapi untuk memberi arti bagi hidupnya sebagai bagian dari bangsa yang baru lahir.
Sebagai seorang bhayangkara, Karel ditempatkan di berbagai daerah konflik. Ia ikut menjaga ketertiban di masa-masa penuh gejolak. Di sinilah kepribadiannya terbentuk, seorang anak Maluku yang keras, berani, tetapi juga setia pada tugas.
Jejak Perjuangan di Medan Konflik
Nama Karel jarang terdengar dalam narasi besar sejarah nasional. Namun sebenarnya, ia telah melewati banyak palagan penting yang menjadi bagian dari perjalanan Indonesia mempertahankan kedaulatan.
Pertama, ia ditugaskan di Aceh untuk menghadapi pemberontakan DI/TII yang dipimpin Daud Beureueh. Konflik ini bukan perkara mudah, karena kelompok bersenjata itu memanfaatkan kondisi sosial yang rumit. Di sana, Karel belajar bahwa pengabdian polisi tidak hanya soal menegakkan hukum, tetapi juga menjaga keutuhan bangsa.
Setelah itu, ia dikirim ke Sumatera Barat dalam operasi melawan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) pada akhir 1950-an. Lagi-lagi, ia berada di garis depan, menghadapi sesama anak bangsa yang berbeda haluan politik. Karel menunjukkan keberanian, walau nyawanya selalu terancam.
Karel juga ikut dalam Operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda. Dalam operasi itu, ia kembali membuktikan kesetiaan pada republik. Dari Aceh, Sumatera Barat, hingga Papua, jejaknya menandai garis panjang pengabdian seorang polisi yang tidak kenal lelah.
Malam Kelam 30 September 1965
Kisah heroik Karel mencapai puncaknya pada malam 30 September 1965. Kala itu, ia mendapat tugas menjaga rumah Wakil Perdana Menteri Dr. Johannes Leimena di Jakarta. Tugasnya sederhana: memastikan keamanan seorang pejabat tinggi negara.
Namun takdir berkata lain. Dini hari 1 Oktober, pasukan bersenjata yang kemudian diketahui sebagai bagian dari Gerakan 30 September (G30S/PKI) datang untuk menculik para jenderal.Â
Pasukan penculik yang bergerak pada malam 30 September 1965 sebenarnya salah sasaran. Awalnya mereka mengira rumah Dr. Johannes Leimena adalah kediaman Jenderal A.H. Nasution. Kesalahan itulah yang kemudian menuntun mereka mendatangi rumah yang dijaga oleh Karel Sadsuitubun.