Krisis kemanusiaan di Gaza kembali menjadi sorotan dunia internasional. Blokade berkepanjangan, serangan udara yang terus meningkat, serta akses bantuan yang semakin tertutup menjadikan wilayah kecil di pesisir Laut Mediterania itu sebagai titik rawan tragedi kemanusiaan global. Dalam kondisi itulah, Global Sumud Flotilla (GSF) muncul sebagai upaya baru untuk menyalurkan bantuan melalui jalur laut, jalur yang penuh risiko namun kini dianggap sebagai satu-satunya alternatif realistis.
Bayangan tentang Gaza hari ini bukan sekadar deretan angka dalam laporan krisis, melainkan kenyataan getir yang menyayat hati. Lebih dari 40 ribu warga sipil telah menjadi korban sejak Israel melancarkan operasi militer pada Oktober 2023.
Sementara itu, jutaan orang lainnya harus bertahan hidup di tengah blokade yang menutup akses makanan, obat-obatan, hingga listrik. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, 1,1 juta penduduk Gaza kini menghadapi kelaparan ekstrem. Anak-anak yang seharusnya bermain di halaman sekolah justru terbaring lemah menunggu bantuan kemanusiaan yang tak kunjung datang.
Sejak Israel memberlakukan blokade ketat pada tahun 2007, Gaza praktis terisolasi dari dunia luar. Jalur darat kerap ditutup, termasuk perbatasan Rafah yang menjadi pintu penting di selatan. Sementara itu, operasi militer berulang kali menghancurkan infrastruktur vital. Akibatnya, akses bantuan kemanusiaan semakin sulit.
Dalam beberapa minggu terakhir, laporan dari berbagai media internasional menyebutkan jika jalur darat hampir mustahil ditembus. Persediaan obat-obatan, makanan, air bersih, hingga perlengkapan darurat semakin menipis. Jalur laut pun menjadi harapan terakhir, meski perairan di Mediterania Timur sama sekali bukan wilayah yang aman. Kapal-kapal bantuan harus melewati patroli intensif Angkatan Laut Israel, menghadapi ancaman drone, hingga gangguan komunikasi elektronik.
Kondisi inilah yang menggerakkan gelombang solidaritas dari berbagai belahan dunia. Italia dan Spanyol, pada September 2025 ini mengumumkan rencana bersama: mengirimkan armada bantuan kemanusiaan ke Gaza. Kedua negara itu tengah mempersiapkan kapal dengan perlengkapan medis, makanan, serta tim sukarelawan yang siap menembus blokade laut Israel.
Italia dan Spanyol memutuskan untuk ikut turun tangan secara langsung. Tidak sekadar memberikan dukungan politik atau logistik, keduanya mengerahkan kapal perang modern untuk mengawal armada kemanusiaan. Langkah ini tidak hanya menunjukkan kepedulian pada nasib warga Gaza, tetapi juga menandai perubahan sikap strategis Eropa terhadap konflik yang melibatkan Israel di perairan internasional.
Langkah ini bukan tanpa risiko, sebab jalur laut ke Gaza dikenal sebagai salah satu rute paling berbahaya. Namun, tekad untuk mengirimkan pesan kemanusiaan jauh lebih besar daripada rasa takut akan konsekuensi politik maupun militer.
Bagi masyarakat internasional, inisiatif Italia dan Spanyol bukanlah hal baru. Sejarah mencatat, pada tahun 2010 dunia dikejutkan oleh tragedi Mavi Marmara. Kapal Turki yang menjadi bagian dari armada “Freedom Flotilla” itu diserbu pasukan khusus Israel di perairan internasional.
Sepuluh aktivis tewas, puluhan lainnya luka-luka. Insiden itu menorehkan luka, tetapi juga menjadi simbol perlawanan damai terhadap blokade yang tak manusiawi. Sejak saat itu, flotilla dikenal sebagai bentuk perlawanan sipil lintas negara yang menekankan prinsip kemanusiaan: membawa bantuan kemanusiaan, bukan senjata.
Kini, semangat itu hidup kembali dalam bentuk Global Sumud Flotilla 2025. Kata “Sumud” sendiri berarti keteguhan atau ketabahan dalam bahasa Arab, sebuah filosofi yang menggambarkan daya tahan rakyat Palestina menghadapi penindasan selama puluhan tahun.
Karena itulah, GSF dianggap sebagai langkah berani. Konvoi ini tidak hanya mengangkut bantuan logistik, tetapi juga membawa pesan kuat: dunia tidak bisa lagi menutup mata terhadap penderitaan Gaza.
Italia mengambil langkah besar dengan mengerahkan dua kapal perang kelas FREMM, yakni ITS Virginio Fasan (F591) dan ITS Alpino (F594). Keduanya merupakan fregat serba guna yang dirancang untuk menghadapi ancaman kompleks di laut, mulai dari kapal selam, pesawat tempur, hingga rudal anti-kapal.
Kapal sepanjang 144 meter dengan bobot penuh 6.700 ton itu dilengkapi rudal Aster 15/30 untuk pertahanan udara, torpedo anti kapal selam, serta sistem rudal anti-kapal Otomat/Teseo. Tidak hanya itu, masing-masing kapal juga memiliki hanggar dan dek untuk helikopter angkatan laut yang dapat digunakan untuk patroli maupun evakuasi medis.
Dalam konteks GSF, fregat Italia berfungsi sebagai pengawal utama. Kehadirannya dirancang untuk memberi perlindungan dari ancaman serangan udara atau intersepsi di laut lepas. Namun, makna politisnya jauh lebih besar: Italia ingin menampilkan diri sebagai pemimpin kemanusiaan Eropa Selatan, sembari menegaskan bahwa mereka tidak akan tinggal diam terhadap eskalasi yang bisa mengancam stabilitas kawasan Mediterania.
Sementara itu, Spanyol memilih pendekatan berbeda. Negeri Matador mengirimkan OPV Furor (P46), kapal patroli lepas pantai dari kelas Meteoro. Dibandingkan fregat Italia, Furor memang lebih kecil, panjangnya 93 meter dengan bobot 2.500 ton, tetapi kapal ini dikenal fleksibel dan tangguh untuk misi maritim jarak jauh.
Berangkat dari pelabuhan Cartagena pada 26 September 2025 dini hari, Furor memiliki misi khusus: melindungi warga Spanyol yang ikut serta dalam flotila serta menyediakan jalur evakuasi jika terjadi insiden. Kapal ini dilengkapi sistem komunikasi canggih, dek pendaratan helikopter, dan kecepatan yang cukup untuk merespons keadaan darurat.
Bagi pemerintah Spanyol, langkah ini merupakan kompromi politik. Spanyol bisa menunjukkan solidaritas kemanusiaan kepada Palestina tanpa harus mengerahkan kekuatan militer besar yang berisiko memicu ketegangan langsung dengan Israel.
Global Sumud Flotilla memulai perjalanan dari Barcelona, Spanyol, Pada 31 Agustus 2025. Disusul kemudian pada 4 September 2025, rombongan lain bertolak dari Tunisia. Seluruh armada dari berbagai titik keberangkatan dijadwalkan berkumpul di Laut Mediterania pada 5 September 2025, untuk kemudian bergerak bersama menuju Gaza.
Di Asia Tenggara, Sumud Nusantara menjadi motor penggerak regional. Aliansi kemanusiaan dari sembilan negara Asia turut mengirim delegasi. Rangkaian konvoi darat Sumud Nusantara mengarusutamakan kampanye publik dari berbagai wilayah di Indonesia, Maladewa, Sri Lanka, hingga Thailand sejak 15 Agustus 2025.
Puncak kegiatan Sumud Nusantara pada 22-24 Agustus 2025 digelar di Malaysia, melalui konvoi darat yang melibatkan empat zona, mulai dari Kelantan hingga Kuala Lumpur, sebelum bergabung dengan armada global. Inisiatif tersebut menyatukan organisasi lintas iman dan negara, menegaskan bahwa Palestina adalah isu kemanusiaan universal, tidak dibatasi identitas.
Bagi Indonesia, partisipasi ini bukan hal baru. Aqsa Working Group (AWG) menjadi salah satu penggerak utama yang mengoordinasikan dukungan masyarakat Indonesia. Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memikul tanggung jawab moral untuk terus bersuara bagi Palestina.
Indonesia sendiri tak asing dengan gerakan solidaritas kemanusiaan untuk Palestina. Melalui Asia Pacific Community Centre for Palestine (AWG), jaringan aktivis di Indonesia aktif terlibat dalam persiapan Sumud Flotilla. Mereka menyadari bahwa perjuangan bukan hanya soal mengirimkan bantuan, tetapi juga membangkitkan kesadaran publik dunia. Kehadiran flotilla di kawasan Asia Tenggara akan menjadi momentum penting: membuktikan bahwa dukungan terhadap Gaza bukan hanya datang dari Barat, tetapi juga dari Timur, dari negeri-negeri dengan mayoritas Muslim sekaligus semangat solidaritas universal.
Flotilla 2025 bukan hanya kapal yang membawa logistik, melainkan juga simbol politik moral. Kehadirannya menegaskan pesan bahwa blokade tidak bisa dinormalisasi, bahwa penderitaan warga Gaza tidak boleh dianggap wajar. Di saat banyak pemerintah memilih bungkam karena tekanan diplomatik, suara solidaritas rakyat justru bergema lewat layar kapal yang mengibarkan bendera kemanusiaan. Inilah yang menjadikan flotilla bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan moral umat manusia.
Flotilla membawa dua lapis pesan. Pertama, pesan kemanusiaan: ada orang-orang yang kelaparan, sakit, dan kehausan, dan bantuan harus masuk sekarang. Kedua, pesan kebijakan: hukuman kolektif melalui pengepungan melanggar hukum humaniter internasional. Pemerintah-pemerintah yang memiliki pengaruh wajib mendorong gencatan senjata berkelanjutan, akses kemanusiaan tanpa hambatan, dan pemulihan layanan esensial seperti listrik, air, bahan bakar, dan fasilitas kesehatan.
Risikonya tentu besar. Israel selama ini tegas menolak setiap upaya masuknya flotilla ke wilayah laut Gaza. Dalam banyak kasus, kapal ditahan, aktivis dipenjara, bahkan ada yang menjadi korban kekerasan. Namun, sejarah juga menunjukkan bahwa setiap aksi flotilla selalu berhasil mencuri perhatian dunia.
Media internasional terpaksa memberitakan krisis Gaza, organisasi HAM kembali mengeluarkan pernyataan, dan opini publik global terdorong untuk lebih peduli. Dengan kata lain, setiap layar yang terbentang di lautan adalah juga layar yang menyingkap tabir diam dunia internasional.
Indonesia memiliki peran strategis dalam momentum ini. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia sekaligus konstitusi yang menolak penjajahan, dukungan Indonesia bagi Palestina adalah amanat sejarah. Pemerintah dapat memanfaatkan momentum Sumud Flotilla dengan mendorong diplomasi multilateral, mendukung logistik, atau bahkan mengirimkan delegasi resmi. Lebih jauh, masyarakat sipil Indonesia bisa terlibat lewat kampanye publik, penggalangan dana, maupun doa yang dipanjatkan bersama.
Di tengah situasi dunia yang kerap terjebak pada politik kepentingan, flotilla hadir sebagai pengingat sederhana bahwa kemanusiaan seharusnya melampaui batas negara, agama, maupun ideologi. Anak-anak Gaza tidak pernah memilih lahir di tengah perang. Mereka berhak atas kehidupan yang layak sebagaimana anak-anak di Jakarta, Madrid, atau Kuala Lumpur. Flotilla membawa pesan itu dalam bentuk nyata: kotak susu, karung beras, obat-obatan, dan tenaga sukarelawan.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah flotilla akan sampai ke Gaza, melainkan apakah dunia akan terus membiarkan penderitaan berlangsung tanpa solusi nyata. Flotilla hanyalah satu upaya kecil, tetapi ia menjadi lentera yang menuntun arah: bahwa blokade harus diakhiri, bahwa perdamaian harus diperjuangkan.
Ketika layar Global Sumud Flotilla dan Sumud Nusantara berkibar di lautan, sesungguhnya ia juga berkibar di hati manusia-manusia yang percaya pada keadilan. Dari Barcelona, Tunisia, Kuala Lumpur sampai Jakarta, dunia menyatukan suara dalam irama yang sama: “Gaza berhak hidup.” Dan mungkin, di balik gelombang yang bergemuruh, ada secercah harapan bahwa suatu hari, anak-anak Gaza bisa menyaksikan laut bukan lagi sebagai dinding besi, melainkan sebagai jalan menuju kebebasan.
Ketika jalur darat macet dan udara terkunci, laut menjadi kalimat terakhir yang masih bisa diucapkan kemanusiaan. Blokade Gaza telah berlangsung lebih dari 17 tahun. Generasi demi generasi lahir dalam keterkungkungan, tanpa pernah merasakan kebebasan yang layak dimiliki setiap manusia. Dunia tidak boleh lagi berpura-pura tuli terhadap jeritan Gaza.
Kini, saat layar sudah terkembang dan angin perubahan mulai berhembus, pertanyaan yang tersisa adalah: apakah dunia akan tetap diam, atau ikut mengangkat suara untuk membebaskan Gaza?
Apapun hasilnya, keputusan Italia dan Spanyol mengirim kapal perang untuk mengawal flotila ke Gaza sudah mencatat bab penting dalam sejarah kemanusiaan internasional. Bagi warga Gaza, langkah ini memberi secercah harapan di tengah gelombang penderitaan. Bagi dunia, misi ini adalah ujian: seberapa jauh negara-negara berani mempertaruhkan kepentingan strategis demi melindungi kemanusiaan.
Jika berhasil, GSF bisa menjadi simbol baru solidaritas global. Namun jika gagal, sejarah akan kembali mencatat Gaza bukan hanya sebagai medan krisis, tetapi juga sebagai cermin kegagalan dunia dalam menegakkan nilai kemanusiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI