Ketika berbicara tentang sejarah militer Indonesia, nama besar Jenderal Besar Abdul Haris Nasution selalu muncul di garis depan. Namun, di balik sorot lampu sejarah, ada satu sosok yang tak kalah penting, bahkan sering disebut sebagai "bapak intelijen Indonesia": Zulkifli Lubis. Figur penuh kontroversi ini menorehkan jejak panjang, dari masa penjajahan Jepang, revolusi kemerdekaan, hingga pergulatan politik era awal republik.
Kisahnya adalah tentang kecerdikan, keberanian, dan persaingan abadi dengan Nasution yang membentuk wajah militer Indonesia di masa-masa awal.
Masa Muda dan Pendidikan Militer
Zulkifli Lubis lahir pada 26 Desember 1923 di Aceh, sebuah daerah yang terkenal melahirkan pejuang tangguh. Masa mudanya bertepatan dengan masa genting ketika Jepang masuk ke Indonesia pada 1942. Banyak pemuda pribumi yang kemudian direkrut ke dalam PETA (Pembela Tanah Air).
Lubis adalah salah satu pemuda terpilih. Ketajamannya dalam berpikir, kemampuan menganalisis situasi, serta kecerdasan strategisnya membuat ia cepat menonjol. Saat kawan-kawan seusianya masih sibuk berlatih baris-berbaris, ia sudah mencatat peta jalan, menghitung kekuatan musuh, dan memikirkan strategi gerilya.
Jepang yang saat itu sangat membutuhkan kader militer pribumi untuk menopang perangnya di Asia Pasifik, mendidik para pemuda dengan disiplin keras. Dari sinilah Lubis banyak belajar tentang dunia intelijen, penyamaran, dan infiltrasi. Bekal itu kelak menjadi modal penting saat Indonesia benar-benar memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Awal Kemerdekaan dan Badan Istimewa
Pasca proklamasi, Republik Indonesia butuh sistem pertahanan yang bukan hanya mengandalkan senjata, tapi juga informasi. Di sinilah peran Lubis menjadi sangat vital. Ia mendirikan Badan Istimewa, cikal bakal badan intelijen Indonesia. Tugasnya jelas: mengumpulkan informasi dari lapangan, mengintai pergerakan Belanda, dan melaporkannya kepada pimpinan republik.
Lubis sering bergerak dalam senyap, menyamar, bahkan menyusup ke wilayah musuh. Cerita-cerita dari masa itu menggambarkan dirinya sebagai sosok yang luwes, cepat, dan piawai membaca situasi. Ia bisa bergaul dengan siapa saja, mulai dari petani desa sampai pejabat kolonial.
Dari Badan Istimewa, lahir kemudian unit-unit intelijen yang makin rapi, termasuk Penyelidik Militer Khusus (PMK). Lubis membangun jaringan yang begitu luas, menjadikan dirinya figur sentral di dunia intelijen Indonesia.
Rivalitas dengan Abdul Haris Nasution
Perjalanan Lubis tidak pernah mulus. Dari awal, ia sudah berhadapan dengan Abdul Haris Nasution, Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia.
Nasution yang berhaluan militer-strategis sering berbenturan pandangan dengan Lubis yang lebih condong ke dunia intelijen dan operasi rahasia. Keduanya sama-sama ambisius, sama-sama cerdas, namun berbeda gaya. Nasution tegas, formal, dan berorientasi pada struktur. Sementara Lubis fleksibel, senang berimprovisasi, dan kerap bergerak di luar garis resmi.
Puncak ketegangan itu tampak pada peristiwa 17 Oktober 1952. Saat itu sekelompok perwira muda mendesak agar Presiden Sukarno membubarkan parlemen. Lubis dituding terlibat, meskipun perannya sering disebut samar. Namun jelas, sejak saat itu, hubungan Nasution dan Lubis makin renggang.
Rivalitas antara Abdul Haris Nasution dan Zulkifli Lubis tercatat sebagai salah satu perseteruan paling panas dalam sejarah Angkatan Darat Indonesia. Keduanya sama-sama berasal dari Mandailing, Tapanuli Selatan, bahkan ada yang menyebut masih memiliki hubungan sepupu. Namun persamaan darah dan suku itu tidak otomatis menjadikan mereka sekutu. Justru sebaliknya, jalan hidup keduanya saling berhadapan, bertabrakan dalam pusaran sejarah bangsa.
Ketika gejolak antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra memuncak, persaingan pribadi antara keduanya semakin terasa. Gatot Subroto, dengan gaya berkelakarnya, pernah mengatakan bahwa PRRI sejatinya adalah "perang saudara" antara Nasution dan Lubis.Â
Nasution yang kala itu menjabat Kepala Staf Angkatan Darat berdiri tegak di pihak pemerintah pusat, sedangkan Lubis memilih jalan berbeda dengan berada di barisan PRRI. Pada akhirnya, tentara pusat di bawah komando Nasution mampu menumpas PRRI. Kekalahan itu sekaligus menandai kekalahan Lubis dalam "perang saudara" yang melibatkan dua tokoh besar Angkatan Darat tersebut.
Sejarah panjang perseteruan ini tak bisa dilepaskan dari perjalanan hidup mereka masing-masing. Abdul Haris Nasution, pada awalnya adalah seorang taruna KNIL. Belanda tentu berharap para taruna pribumi itu kelak bertempur membela Ratu Wilhelmina. Gaji seorang letnan muda di KNIL pun terbilang cukup besar, sekitar 100 gulden. Namun perjalanan hidup Nasution tidak lurus. Setelah berbulan-bulan berperang di bawah panji Belanda, ia memilih jalan berbeda: desersi. Dengan hanya bersarung, ia kabur dari Jawa Timur, lalu dengan sepeda pancal mengayuh menembus kota-kota di Jawa Tengah hingga Jawa Barat.
Di zaman pendudukan Jepang, Nasution menjalani hidup sederhana di Bandung. Ia tidak banyak menonjol, bahkan ikut serta dalam organisasi Seinendan. Dari rumah keluarga Gondokusuma, ia kemudian dekat dengan Sunarti putri dari Mr. Gondokusuma dengan seorang perempuan Indo bernama Rademaker yang kelak dinikahinya.
Sementara itu, Zulkifli Lubis yang kala itu masih menempuh pendidikan di AMS Yogyakarta, sebenarnya punya masa depan cerah. Anak seorang guru ini dikenal sebagai siswa pintar, bahkan ia sendiri mengaku dalam memoarnya Senarai Kiprah Sejarah (1993) bahwa ia selalu mendapat nilai sempurna dalam pelajaran berhitung dan sejarah. Namun pecahnya Perang Pasifik membuat jalan akademiknya terhenti.
Jepang menjerumuskan Lubis ke dunia militer. Bersama Kemal Idris, ia termasuk 50 pemuda terpilih yang ditempa di Seinen Dojo Tangerang. Dari sana, jalannya berubah. Lubis tidak hanya terlatih sebagai tentara, tapi juga berkesempatan ditempatkan di pusat intelijen regional Jepang di Singapura pada 1944. Di sana ia menyerap ilmu teori sekaligus praktik intelijen secara langsung. Pengalaman inilah yang kelak menjadikannya salah satu tokoh terpenting dalam sejarah intelijen Indonesia.
Selepas proklamasi, Lubis mendirikan Badan Istimewa, cikal bakal badan intelijen republik, dan mengangkat dirinya sebagai kolonel. Ia juga membentuk Penyelidik Militer Chusus (PMC), unit yang kerap bentrok dengan satuan lain, termasuk Divisi Siliwangi di bawah Nasution. Bahkan, penembakan kepala stasiun Padalarang oleh anggota PMC memaksa Divisi Siliwangi bertindak keras. Nasution menulis dalam Memenuhi Panggilan Tugas (1989) bahwa pihaknya terpaksa menertibkan semua badan penyelidik di bawah kementerian pertahanan. Dari sinilah gesekan antara Nasution dan Lubis semakin tajam.
Lubis semakin penting di mata Sukarno karena kedekatannya yang istimewa. Menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007), Lubis adalah salah satu perwira yang bisa langsung membangunkan Presiden Sukarno di tengah malam untuk melaporkan situasi penting. Namun posisinya di tubuh Angkatan Darat tidak selalu mulus.
Pada awal 1950-an, Nasution sudah menjabat sebagai KSAD. Rivalitas pun berlanjut, apalagi keduanya sama-sama kolonel yang berebut pengaruh. Lubis sempat memimpin Biro Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP), tapi hubungannya dengan Nasution tidak pernah harmonis. Hario Kecik, dalam memoarnya Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995), menyebut bahwa sejak akhir revolusi sudah ada ketidakserasian antara T.B. Simatupang, Nasution, dan Lubis. Ketiganya memiliki pendukung masing-masing.
Pertentangan itu mencapai puncak dalam Peristiwa 17 Oktober 1952. Saat itu kelompok militer yang dipimpin Nasution berusaha membubarkan parlemen yang dianggap tidak becus. Lubis, yang berpihak kepada Presiden Sukarno, menggunakan jaringan intelijennya untuk menyusup ke tengah-tengah demonstran. Ia berhasil mengacaukan skenario kelompok Nasution. Alih-alih menyerukan bubarnya parlemen, para demonstran justru meneriakkan "Hidup Bung Karno!" Peristiwa itu menandai satu lagi kemenangan Lubis atas rival abadinya.
Namun sejarah terus bergulir. Seperti roda, kadang Nasution berada di atas, kadang Lubis. Perseteruan keduanya bukan sekadar konflik pribadi, melainkan pertarungan ide, pengaruh, dan loyalitas di tubuh Angkatan Darat sekaligus di panggung politik Indonesia.Â
Mendirikan Badan Intelijen
Setelah peristiwa tersebut, Lubis tetap dipercaya dalam bidang intelijen. Ia mendirikan organisasi-organisasi yang menjadi pondasi intelijen Indonesia. Banyak yang menyebutnya sebagai "arsitek intelijen republik."
Dengan jaringan luas dan kecerdikan analisis, Lubis berhasil menempatkan intelijen Indonesia di posisi penting dalam percaturan politik dan militer. Ia percaya bahwa sebuah negara merdeka tidak bisa bertahan hanya dengan senjata, tapi juga harus punya sistem informasi yang kuat.
Namun, dalam tubuh TNI sendiri, posisi Lubis kerap diperdebatkan. Ada yang memandangnya sebagai prajurit cerdas, ada pula yang melihatnya sebagai sosok penuh intrik yang tak segan melawan arus komando.
PRRI: Titik Balik
Tahun 1958 menjadi titik balik kehidupan Lubis. Ia terseret dalam pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra.
Bagi sebagian orang, keterlibatan Lubis di PRRI adalah bentuk kekecewaan terhadap pusat kekuasaan di Jakarta yang dianggap tidak adil dalam membagi pembangunan. Namun bagi lawan-lawannya, itu adalah bukti bahwa ia berkhianat pada republik.
Apapun sudut pandangnya, jelas bahwa setelah PRRI gagal, Lubis kehilangan pamornya. Pemerintah pusat mengambil sikap keras, dan posisi Lubis sebagai tokoh penting di militer benar-benar meredup.
Warisan dan Kontroversi
Zulkifli Lubis wafat pada 23 Juni 1993 di Jakarta. Ia meninggalkan warisan besar berupa tradisi intelijen Indonesia yang ia rintis sejak awal. Badan-badan intelijen modern Indonesia, baik sipil maupun militer, tak bisa dilepaskan dari jasa Lubis.
Namun, warisannya tetap kontroversial. Ada yang mengingatnya sebagai pahlawan intelektual yang visioner, ada pula yang menilainya sebagai sosok yang kerap membelot dari garis komando resmi. Rivalitasnya dengan Nasution juga menjadi catatan sejarah tersendiri, menggambarkan betapa kerasnya perebutan arah militer Indonesia pada masa awal kemerdekaan.
Penutup
Kisah Zulkifli Lubis adalah cermin dari rumitnya sejarah Indonesia di masa awal. Ia memperlihatkan bagaimana kecerdikan, keberanian, dan intrik politik bercampur menjadi satu. Dari Aceh hingga Jakarta, dari PETA hingga PRRI, Lubis menjelma sebagai figur penting, sekaligus penuh kontroversi.
Sejarah mungkin menempatkan Nasution di garis depan sebagai panglima besar, tapi nama Zulkifli Lubis tetap abadi sebagai bapak intelijen Indonesia.
Referensi:
Historia. (2019, 23 Januari). Momentum Zulkifli Lubis. Historia.id. Diakses dari: https://www.historia.id/article/momentum-zulkifli-lubis
Suryomenggolo, J. (5 Agustus 2021). Perang saudara Nasution vs Lubis panaskan Angkatan Darat. Tirto.id. Diakses dari: https://tirto.id/perang-saudara-nasution-vs-lubis-panaskan-angkatan-darat-cQhK
Universitas Indonesia. (1999). PRRI-Permesta [Makalah]. UI Digital Library. https://lib.ui.ac.id/file?file=digital%2Fold43%2F90433-JSAM-IV-JanJul1999-28.pdf
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI