Puncak ketegangan itu tampak pada peristiwa 17 Oktober 1952. Saat itu sekelompok perwira muda mendesak agar Presiden Sukarno membubarkan parlemen. Lubis dituding terlibat, meskipun perannya sering disebut samar. Namun jelas, sejak saat itu, hubungan Nasution dan Lubis makin renggang.
Rivalitas antara Abdul Haris Nasution dan Zulkifli Lubis tercatat sebagai salah satu perseteruan paling panas dalam sejarah Angkatan Darat Indonesia. Keduanya sama-sama berasal dari Mandailing, Tapanuli Selatan, bahkan ada yang menyebut masih memiliki hubungan sepupu. Namun persamaan darah dan suku itu tidak otomatis menjadikan mereka sekutu. Justru sebaliknya, jalan hidup keduanya saling berhadapan, bertabrakan dalam pusaran sejarah bangsa.
Ketika gejolak antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra memuncak, persaingan pribadi antara keduanya semakin terasa. Gatot Subroto, dengan gaya berkelakarnya, pernah mengatakan bahwa PRRI sejatinya adalah "perang saudara" antara Nasution dan Lubis.Â
Nasution yang kala itu menjabat Kepala Staf Angkatan Darat berdiri tegak di pihak pemerintah pusat, sedangkan Lubis memilih jalan berbeda dengan berada di barisan PRRI. Pada akhirnya, tentara pusat di bawah komando Nasution mampu menumpas PRRI. Kekalahan itu sekaligus menandai kekalahan Lubis dalam "perang saudara" yang melibatkan dua tokoh besar Angkatan Darat tersebut.
Sejarah panjang perseteruan ini tak bisa dilepaskan dari perjalanan hidup mereka masing-masing. Abdul Haris Nasution, pada awalnya adalah seorang taruna KNIL. Belanda tentu berharap para taruna pribumi itu kelak bertempur membela Ratu Wilhelmina. Gaji seorang letnan muda di KNIL pun terbilang cukup besar, sekitar 100 gulden. Namun perjalanan hidup Nasution tidak lurus. Setelah berbulan-bulan berperang di bawah panji Belanda, ia memilih jalan berbeda: desersi. Dengan hanya bersarung, ia kabur dari Jawa Timur, lalu dengan sepeda pancal mengayuh menembus kota-kota di Jawa Tengah hingga Jawa Barat.
Di zaman pendudukan Jepang, Nasution menjalani hidup sederhana di Bandung. Ia tidak banyak menonjol, bahkan ikut serta dalam organisasi Seinendan. Dari rumah keluarga Gondokusuma, ia kemudian dekat dengan Sunarti putri dari Mr. Gondokusuma dengan seorang perempuan Indo bernama Rademaker yang kelak dinikahinya.
Sementara itu, Zulkifli Lubis yang kala itu masih menempuh pendidikan di AMS Yogyakarta, sebenarnya punya masa depan cerah. Anak seorang guru ini dikenal sebagai siswa pintar, bahkan ia sendiri mengaku dalam memoarnya Senarai Kiprah Sejarah (1993) bahwa ia selalu mendapat nilai sempurna dalam pelajaran berhitung dan sejarah. Namun pecahnya Perang Pasifik membuat jalan akademiknya terhenti.
Jepang menjerumuskan Lubis ke dunia militer. Bersama Kemal Idris, ia termasuk 50 pemuda terpilih yang ditempa di Seinen Dojo Tangerang. Dari sana, jalannya berubah. Lubis tidak hanya terlatih sebagai tentara, tapi juga berkesempatan ditempatkan di pusat intelijen regional Jepang di Singapura pada 1944. Di sana ia menyerap ilmu teori sekaligus praktik intelijen secara langsung. Pengalaman inilah yang kelak menjadikannya salah satu tokoh terpenting dalam sejarah intelijen Indonesia.
Selepas proklamasi, Lubis mendirikan Badan Istimewa, cikal bakal badan intelijen republik, dan mengangkat dirinya sebagai kolonel. Ia juga membentuk Penyelidik Militer Chusus (PMC), unit yang kerap bentrok dengan satuan lain, termasuk Divisi Siliwangi di bawah Nasution. Bahkan, penembakan kepala stasiun Padalarang oleh anggota PMC memaksa Divisi Siliwangi bertindak keras. Nasution menulis dalam Memenuhi Panggilan Tugas (1989) bahwa pihaknya terpaksa menertibkan semua badan penyelidik di bawah kementerian pertahanan. Dari sinilah gesekan antara Nasution dan Lubis semakin tajam.
Lubis semakin penting di mata Sukarno karena kedekatannya yang istimewa. Menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007), Lubis adalah salah satu perwira yang bisa langsung membangunkan Presiden Sukarno di tengah malam untuk melaporkan situasi penting. Namun posisinya di tubuh Angkatan Darat tidak selalu mulus.
Pada awal 1950-an, Nasution sudah menjabat sebagai KSAD. Rivalitas pun berlanjut, apalagi keduanya sama-sama kolonel yang berebut pengaruh. Lubis sempat memimpin Biro Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP), tapi hubungannya dengan Nasution tidak pernah harmonis. Hario Kecik, dalam memoarnya Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995), menyebut bahwa sejak akhir revolusi sudah ada ketidakserasian antara T.B. Simatupang, Nasution, dan Lubis. Ketiganya memiliki pendukung masing-masing.