Dalam pernikahan adat Jawa, ada satu prosesi yang selalu ditunggu-tunggu oleh para tamu sekaligus menjadi ciri khas yang membedakan dengan tradisi lain, yakni dodol dawet. Sekilas, prosesi ini tampak sederhana, bahkan sering dianggap sekadar hiburan kecil di sela-sela rangkaian acara.Â
Namun, jika ditelusuri lebih jauh, ternyata dodol dawet sarat dengan makna, doa, dan filosofi yang begitu dalam tentang kehidupan rumah tangga, cinta kasih, dan restu orang tua.
Tradisi dodol dawet biasanya dilakukan setelah acara siraman atau menjelang panggih pengantin. Orang tua dari pihak pengantin perempuan mengambil peran utama dalam prosesi ini.Â
Sang ibu bertugas melayani tamu dengan menyendokkan dawet ke dalam wadah, sementara sang ayah memayungi istri sekaligus menerima pembayaran dari para tamu.Â
Hal yang membuatnya unik adalah pembayaran tersebut tidak menggunakan uang, melainkan kereweng, atau pecahan genting tanah liat. Para tamu pun dengan penuh antusias berbaris untuk membeli dawet dengan kereweng itu, menciptakan suasana riuh, hangat, dan penuh keakraban.
Dari luar, dodol dawet mungkin terlihat sebagai prosesi yang penuh canda dan tawa. Tamu yang berdesakan membeli dawet dengan kereweng sering kali membuat suasana meriah, bahkan tak jarang memunculkan guyonan-guyonan ringan. Akan tetapi, di balik suasana meriah itu, tersimpan makna yang jauh lebih dalam.Â
Dawet yang manis melambangkan doa agar rumah tangga pasangan pengantin selalu diberkahi kebahagiaan dan keberlimpahan rezeki. Campuran gula merah, santan, dan butiran dawet yang berpadu di dalam gelas menjadi simbol penyatuan dua insan yang kini resmi mengikat janji suci pernikahan, lengkap dengan segala perbedaan dan kekurangan yang dimiliki masing-masing.
Sementara kereweng yang digunakan sebagai alat tukar justru membawa pesan filosofis yang kuat. Pecahan genting dari tanah liat mengingatkan bahwa manusia berasal dari tanah dan kelak akan kembali ke tanah.Â
Pesan ini tidak sekadar simbol, melainkan refleksi tentang siklus kehidupan yang sederhana. Dari kereweng itu, setiap orang diingatkan untuk tetap rendah hati, bersyukur atas setiap rezeki yang datang, dan menjaga keseimbangan hidup di dunia yang hanya sementara.
Peran orang tua dalam prosesi ini juga menyimpan makna penting. Sang ibu yang membagikan dawet mencerminkan kasih sayang dan perhatian seorang ibu yang tak pernah habis. Melayani dengan hati, sebagaimana kelak seorang istri harus mengelola rumah tangga dengan penuh cinta.Â
Sang ayah yang berdiri memayungi dan menerima kereweng melambangkan tugas seorang ayah untuk melindungi, menafkahi, sekaligus menjadi penopang utama dalam keluarga.Â
Dari sinilah, dodol dawet menjadi gambaran nyata tentang bagaimana sebuah rumah tangga bisa berjalan dengan harmoni, yakni melalui kerja sama yang saling melengkapi antara suami dan istri.
Bagi pasangan pengantin, prosesi ini adalah simbol ridha dan restu dari orang tua. Senyum orang tua ketika melayani para tamu bukanlah senyum biasa, melainkan wujud cinta dan doa yang tulus agar rumah tangga anaknya senantiasa manis seperti dawet yang dibagikan.Â
Tidak ada doa yang lebih besar dari doa seorang ibu dan ayah, dan dalam momen singkat dodol dawet itu, doa-doa itu tersampaikan dengan cara yang sederhana namun penuh makna.
Menariknya, tradisi ini juga menjadi pengingat bahwa dalam kehidupan rumah tangga tidak semua hal bisa diperoleh dengan mudah. Sama seperti tamu yang harus menukar kereweng untuk mendapatkan segelas dawet, pasangan pengantin kelak harus belajar bahwa kebahagiaan rumah tangga membutuhkan usaha, pengorbanan, dan kerja sama. Rezeki dan kebahagiaan bukan datang begitu saja, melainkan harus diraih dengan kesabaran, keuletan, dan keikhlasan untuk berbagi.
Kehadiran dodol dawet dalam pernikahan Jawa bukan sekadar ornamen budaya, tetapi juga sarana pendidikan kehidupan. Generasi muda yang menyaksikan prosesi ini bisa belajar bahwa rumah tangga bukan hanya tentang cinta romantis, tetapi juga tentang kesediaan untuk bekerja sama, berbagi peran, dan saling mendukung. Diingatkan juga bahwa doa restu orang tua adalah fondasi penting yang tidak boleh dilupakan dalam membangun keluarga baru.
Dalam konteks yang lebih luas, dodol dawet juga mencerminkan kearifan lokal masyarakat Jawa yang selalu mampu membalut nilai kehidupan dalam tradisi yang sederhana. Melalui segelas dawet, tersampaikan pesan tentang cinta, tanggung jawab, rezeki, bahkan tentang kesadaran spiritual bahwa hidup ini hanya sementara.Â
Tradisi ini adalah bukti bahwa budaya Jawa tidak hanya menjaga estetika dalam pernikahan, tetapi juga menyelipkan nilai-nilai luhur yang relevan sepanjang masa.
Bila direnungkan lebih dalam, dodol dawet juga menjadi simbol kebersamaan sosial. Tamu-tamu yang membeli dawet dengan kereweng melambangkan keterlibatan masyarakat dalam mendoakan dan merestui pengantin.Â
Meskipun hanya berlangsung dalam beberapa menit, prosesi dodol dawet mampu meninggalkan kesan mendalam bagi semua yang hadir. Mengajarkan tentang cinta orang tua, doa restu, kerja sama dalam rumah tangga, kesederhanaan hidup, hingga kebersamaan dalam masyarakat. Semua itu terbalut dalam suasana hangat yang penuh tawa dan kebahagiaan.
Lebih dari sekadar minuman manis, dodol dawet adalah warisan budaya yang mengajarkan generasi demi generasi tentang arti pernikahan sesungguhnya. Bukan hanya penyatuan dua insan, melainkan penyatuan dua keluarga, dua hati, dan dua jalan hidup yang kini harus berjalan seiring dalam suka maupun duka.Â
Dari segelas dawet yang manis, lahirlah pelajaran berharga bahwa kebahagiaan rumah tangga adalah hasil dari kerja sama, doa restu, dan kesediaan untuk selalu bersyukur.
Tradisi ini menegaskan bahwa budaya bukan sekadar seremonial, melainkan cermin dari nilai-nilai kehidupan. Setiap kali prosesi dodol dawet digelar, sesungguhnya ada doa panjang yang disampaikan: agar rumah tangga pasangan pengantin selalu manis, rezekinya mengalir deras, dan hidupnya penuh berkah hingga akhir hayat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI