Fenomena baru bernama job hugging kini ramai dibicarakan, terutama di kalangan generasi muda. Istilah ini menggambarkan kondisi ketika seseorang memilih tetap bertahan di pekerjaannya meskipun merasa tidak puas, tidak berkembang, atau bahkan stres, hanya demi satu hal: rasa aman.
Jika dulu pindah kerja identik dengan kesempatan meraih gaji lebih besar, pengalaman baru, atau peningkatan karier, kini banyak pekerja justru berpikir ulang. Generasi milenial dan Gen Z yang dikenal ambisius, kreatif, serta haus pengalaman, kini lebih berhati-hati. Mereka terpaksa menahan diri di satu tempat kerja bukan karena loyalitas, melainkan sebagai strategi bertahan hidup di tengah ketidakpastian ekonomi.
Mengapa Job Hugging Terjadi?
Ada beberapa alasan kuat yang melatarbelakangi meluasnya fenomena ini. Pertama, kondisi ekonomi yang tidak menentu. Harga kebutuhan sehari-hari terus meningkat, sementara daya beli masyarakat melemah. Generasi muda, yang sebagian besar masih menata hidup, merasakan langsung beratnya biaya hidup.
Kedua, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menghantui banyak sektor. Beberapa tahun terakhir, berita mengenai gelombang PHK massal di industri teknologi, manufaktur, hingga ritel membuat banyak orang was-was. Mendapatkan pekerjaan baru bukanlah perkara mudah, sehingga lebih aman jika tetap bertahan meski pekerjaan saat ini tidak memuaskan.
Ketiga, adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Banyak anak muda yang bermimpi bekerja sesuai passion, namun begitu masuk dunia kerja mereka disadarkan bahwa kesempatan tidak selalu sejalan dengan keinginan. Akhirnya, demi menjaga kestabilan finansial, mereka memilih tetap bertahan.
Potret Milenial dan Gen Z
Generasi milenial dan Gen Z merupakan kelompok paling rentan terjebak dalam job hugging. Alasannya sederhana: mereka berada pada fase kehidupan yang penuh tuntutan. Mulai dari membayar cicilan, mempersiapkan biaya menikah, hingga mendukung kebutuhan keluarga.
Bagi sebagian anak muda, keluar dari pekerjaan tanpa kepastian baru ibarat berjudi dengan masa depan. Apalagi mencari kerja baru di era kompetitif seperti sekarang membutuhkan keterampilan tambahan, jaringan yang luas, dan kesabaran menghadapi proses rekrutmen yang panjang.
Di media sosial, tak jarang kita menemukan curhatan pekerja muda yang ingin resign tapi terhalang realita. "Capek kerja, tapi kalau resign nanti mau makan apa?" Kalimat sederhana ini mencerminkan betapa beratnya dilema job hugging bagi generasi muda.
Dampak Job Hugging bagi Pekerja
Bertahan di pekerjaan yang tidak memuaskan tentu ada konsekuensinya. Dampak pertama adalah turunnya kepuasan kerja. Pekerja yang merasa terjebak cenderung bekerja sekadar menjalani rutinitas, tanpa semangat atau motivasi tinggi.
Kedua, berkembangnya rasa frustrasi. Ketika kesempatan untuk naik jabatan atau belajar hal baru terbatas, pekerja mudah merasa stagnan. Kondisi ini lama-lama bisa memicu stres, bahkan burnout.