Akar Sejarah Kehadiran Etnis Tionghoa di Nusantara
Sejarah Indonesia tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu dirangkai dari benang-benang perjumpaan, perpindahan, dan percampuran budaya. Dalam rentang panjang perjalanan bangsa, salah satu benang yang ikut menenun wajah Indonesia adalah kehadiran etnis Tionghoa.
Kehadiran orang-orang Tionghoa di Nusantara sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Catatan sejarah menyebutkan, hubungan dagang antara Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan di kepulauan ini telah terjalin sejak era Sriwijaya hingga Majapahit. Kapal-kapal jung dari Tiongkok berlayar ke pelabuhan besar seperti Palembang, Tuban, Gresik, dan Banten, membawa keramik, sutra, hingga rempah-rempah. Mereka tidak hanya membawa barang, tetapi juga budaya, teknologi, bahkan orang-orang yang kemudian menetap.
Dari pertemuan itu lahirlah komunitas Tionghoa peranakan. Mereka adalah generasi yang lahir dari percampuran orang Tionghoa dengan penduduk lokal. Identitas peranakan ini menjadi unik karena dari bahasa, pakaian, dan tradisi mereka memadukan unsur Tionghoa dengan kebudayaan Nusantara. Di Batavia, Semarang, Surabaya, dan kota pelabuhan lainnya, komunitas Tionghoa berkembang menjadi bagian penting dari denyut ekonomi lokal.
Namun, hubungan ini tidak selalu berjalan mulus. Kolonialisme Belanda turut membentuk cara pandang masyarakat terhadap etnis Tionghoa. VOC dan kemudian pemerintah Hindia Belanda kerap menggunakan politik segregasi: memisahkan kelompok masyarakat berdasarkan ras. Kaum Tionghoa ditempatkan dalam lapisan sosial tertentu, diberi peran sebagai perantara ekonomi, namun sekaligus dijauhkan dari pribumi. Politik ini melahirkan stereotip dan jarak sosial yang panjang.
Tetapi yang sering terlupakan adalah, justru dari komunitas inilah lahir segelintir tokoh yang menyalakan api kebangsaan Indonesia. Mereka menolak untuk hanya menjadi “perpanjangan tangan kolonial”. Mereka memilih berpihak pada tanah tempat mereka lahir dan besar yaitu Indonesia.
Periode 1945 hingga 1949 merupakan fase yang sangat krusial. Bangsa Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaan, namun langsung dihadapkan pada upaya Belanda untuk kembali menjajah melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang datang bersama pasukan Inggris. Kehadiran mereka merupakan bagian dari kesepakatan Civil Affairs Agreement (CAA) antara Inggris dan Belanda pada 24 Agustus 1945. Dalam situasi penuh ketegangan itu, komunitas Tionghoa yang sudah lebih dulu menanamkan semangat kebangsaan turut serta bahu-membahu bersama rakyat pribumi dalam mempertahankan republik. Kontribusi itu tidak hanya berbentuk perlawanan fisik, tetapi juga diplomasi, dukungan material, hingga tenaga yang menjadi salah satu pilar penting perjuangan.
Jika menoleh ke masa awal kemerdekaan, tidak bisa diabaikan bahwa banyak tokoh Tionghoa ikut mengambil bagian dalam perjuangan mempertahankan republik yang baru lahir. Tahun 1945–1949 adalah masa penuh gejolak, ketika diplomasi dan pertempuran fisik berjalan beriringan. Di sinilah terlihat jelas bahwa perjuangan tidak mengenal etnis, agama, ataupun latar belakang sosial.
Dari Perdagangan Menuju Nasionalisme
Awalnya, peran etnis Tionghoa lebih banyak terlihat dalam bidang perdagangan. Pasar-pasar tradisional, jalur distribusi barang, hingga industri kecil tidak lepas dari tangan para pedagang Tionghoa. Tetapi memasuki awal abad ke-20, situasi berubah. Gelombang ide-ide baru tentang nasionalisme mulai bergulir di Hindia Belanda.
Perlawanan terhadap kolonialisme tidak lagi berbentuk keris atau tombak, tetapi berupa organisasi modern, surat kabar, dan pemikiran politik. Di sinilah etnis Tionghoa mengambil peran penting. Mereka mendirikan surat kabar berbahasa Melayu yang menjadi jembatan ide kebangsaan. Tulisan-tulisan di surat kabar itu mengkritik ketidakadilan kolonial, menyerukan persatuan, dan membangkitkan kesadaran rakyat.
Jauh sebelum kemerdekaan, pada awal abad ke-20, berdiri organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Organisasi ini awalnya bergerak di bidang sosial dan pendidikan, namun lambat laun berkembang menjadi pusat pemikiran yang menumbuhkan kesadaran nasionalisme revolusioner di kalangan Tionghoa peranakan maupun totok. Gerakan ini bahkan beririsan dengan semangat Pan-Tionghoa yang ingin memperkuat identitas etnis Tionghoa di perantauan. Dari lingkaran itu lahir tokoh-tokoh penting, salah satunya Kwee Kek Beng (1900–1975), seorang wartawan yang sejak muda sudah aktif menulis di surat kabar Kabar Perniagaan dengan nama pena Hoa Djin.