Sebagaimana pepatah Jawa mengatakan:
"Sabecik-becike manungsa iki lamun bisa weweh pitulungan marang liyan kanthi cara sesingidan."
Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang mampu memberi pertolongan kepada orang lain dengan cara tersembunyi.
Filosofi ini sejalan dengan gamelan, tidak menonjolkan siapa-siapa, tetapi tetap mengisi, tetap memberi. Dengan cara yang halus namun menggetarkan jiwa.
Akhir Kata
Gamelan bukan sekadar warisan budaya, ia adalah cara hidup. Sebuah pengingat dari leluhur bahwa untuk menjadi manusia yang utuh, kita perlu belajar meneng, lalu wening, lalu hanung, lalu wenang, hingga akhirnya mencapai agung. Dalam dunia yang sibuk, gamelan mengajak kita untuk menjadi hening agar bisa mendengar.
Dan seperti gema gong terakhir yang menggetarkan panggung, semoga gamelan tak pernah diam di hati kita. Sebab di sanalah ia paling nyaring berbunyi.
Referensi
Bastomi, Suwaji. (1992). Seni dan Budaya Jawa. Semarang: IKIP SemarangPress
https://www.krjogja.com/opini/1242585133/ki-hadjar-dan-nasionalisme-musik
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI