[2]. Pandangan ini diyakini oleh para filosof peripatetik (nama pengikut Aristoteles), seperti al-Farabi dan Ibnu Sina, melalui teori emanasi (al-faidh), diambil dari new-Platonisme yang mengatakan bahwa alam semesta terjadi karena limpahan dari Yang Esa. Tuhan yang Mahaesa merupakan dzat yang wajib al-wujud bertafakur tentang diriNya, dan dari pemikiran ini muncul pelimpahan akal-akal serta ilmu falak.
Kedua, pandangan Al-Ghazali (1058-1111M) dan Al-Kindi (796-873 M), yakni Tuhan menciptakan alam dengan cara langsung dari tidak ada (creatio ex-nihilo) kepada ada, sehingga alam ini adalah makhluk baru. A
-Ghazali [3] menolak pandangan pertama, karena konsep itu memunculkan adanya sesuatu yang kadim selain Tuhan, sehingga konklusi ini dapat menimbulkan kesan syirik (menduakan Tuhan)
[4]. Kritik Al-Ghazali atas konsep kejadian alam yang dinyatakan kadim ini tertuang dalam karyanya, Taafut al-Falasifat.
Selain para filsuf di atas, filsuf Muslim lain yang mengkaji filsafat lingkungan hidup adalah Mulla Shadra (1572 -- 1640 M) dari Iran. Menurut Shadra, akal, qalbu dan al- Qur'an (kitab suci) adalah tiga jalur identik untuk mengenali rahasia alam.
Selanjutnya, Tuhan yang merupakan awal dari alam semesta (al-Awwal) adalah juga mengirim al-Qur'an, memberi manusia kemampuan berpikir dan juga kalbu yang berkemampuan untuk syuhud (menyaksikan) hakikat alam[5].
Al-Qur'an terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6.666 ayat. Berdasarkan penelitian para ilmuwan Muslim, al-Qur'an pun mengandung lebih dari 750 ayat terkait alam (Mohammad Shomali[6]) dan kata 'ardh (bumi) sebanyak 485 kali dengan konteks dan arti yang beragam[7]. Terakhir, Agus Purwanto menemukan 800 ayat-ayat semesta di al-Qur'an sebagai bukti adanya korelasi sains dan al-Qur'an[8].
 Selanjutnya, Shadra menguraikan empat prinsip filsafat lingkungan hidup. Pertama, semua yang ada, termasuk Tuhan dan ciptaanNya yang dengan sendirinya berhirarki dan berstrata keberadaan beragam, memiliki persamaan penting dan mendasar serta kesatuan erat yang tak dapat dipisahkan.
Perumpaan filsafat Persia kuno: Cahaya dengan misdaq (ekstensi, denotasi) yang  banyak : dari cahaya lilin ke lampu kecil ke lampu besar ke matahari dan seterusnya hingga pada 'Cahaya atas Cahaya'/An-Nuur (QS.24/an-Nuur:35).
Kedua, hubungan antara sebab dan akibat merupakan hubungan yang eksis secara khas dan semacam hubungan matematis. Tuhan adalah sebab dari 'keberadaan' semua maujud (Causa Prima), makhluk adalah akibatNya (QS.40/al-Mu'min:62). Hubungan antara satu maujud dengan yang lain di alam ini bersifat keniscayaan.
Menurut Sachiko Murata dan William C. Chittick[9], teologi Islam mengenal konsep tanzih, ketakterbandingan antara Khalik (sang Pencipta) dan makhluk (yang tercipta).Â