Sepuluh tahun kerusakan tak akan sirna hanya dengan cat politik. Pemimpin (sebutlah Presiden kini) berada di persimpangan: memilih jalan radical break yang berani memutus rantai lama, atau sekadar tambal sulam yang menunda keruntuhan. Pilihan ini bukan sekadar soal politik, tetapi menyangkut keberlangsungan. Dan publik tak lagi haus slogan, yang ditunggu hanyalah langkah nyata.
Jejak Kerusakan
Ketika kekuasaan dikelola dengan cara keliru selama satu dekade, yang tersisa adalah puing-puing. Pemimpin baru otomatis mewarisi empat bentuk kerusakan serius.
Pertama, keropos struktural: birokrasi tumpul, aturan yang lebih berpihak pada elite, dan sistem kerja yang dirusak praktik kolusi.
Kedua, kerusakan moral: kedekatan personal mengalahkan meritokrasi, sementara integritas tereduksi menjadi slogan kosong. Hingga korupsi dianggap sekadar success fee semata.
Ketiga, rapuhnya kepercayaan publik: masyarakat jenuh, sinis, bahkan merasa pergantian pemimpin tidak membawa arti.
Keempat, kuasa orang lama: figur-figur yang dulu menopang kerusakan tetap bercokol, menjadi bayangan yang membayangi setiap upaya reformasi.
Beban yang Harus Ditanggung
Pemimpin baru memasuki panggung kekuasaan dengan defisit legitimasi, modal sosial dan politik yang rapuh sejak awal. Rakyat menuntut perubahan instan, tetapi kerusakan yang diwarisi terlalu dalam. Akibatnya, satu periode pemerintahan bisa habis hanya untuk menambal lubang lama, bukan membangun jalan baru.
Lebih berat lagi, ada ancaman sabotase dari dalam. Loyalis lama yang masih memegang posisi penting bisa merusak dari balik layar. Inilah dilema terbesar: membangun masa depan sambil terus dikepung sisa-sisa masa lalu.