Kentang yang diperkirakan masuk pada abad ke-18 dibawa oleh bangsa Belanda, kemudian ada juga yang menambahkan dalam rendang daging lembu. Kemudian muncul pula inovasi merendang ayam, itik, bahkan ada jenis rendang ikan tongkol di sekitar wilayah Aceh dan di tempat lain. Ada rendang kerang, rendang hati, rendang daun yang terdiri atas beberapa daun, serta rending hitam.
Bagi masyarakat Minangkabau, rendang memiliki banyak varian baik minang laut maupun minang darat. Masakan ini hadir dalam upacara adat, pernikahan, dan hajatan besar. Proses memasaknya yang panjang dan penuh kesabaran dianggap cerminan nilai kesabaran, kebersamaan, dan kekuatan menghadapi tantangan.
Dari Dapur Tradisional ke Diplomasi Kuliner
Abad ke-21 membawa rendang ke panggung global. Tahun 2011, CNN menobatkan rendang sebagai "Makanan Terenak di Dunia". Pemerintah Indonesia pun menjadikannya bagian dari diplomasi budaya.
Meski demikian, perdebatan tentang "kepemilikan" rendang kerap muncul. Apakah ia milik milik Minangkabau saja, atau bagian dari budaya Melayu secara luas ? Jawaban paling adil mungkin: rendang lahir dan berakar kuat di dalam kuliner Melayu, dan Minangkabau juga bagian dari masyarakat Melayu Sumatera, yang juga kaya akan kuliner rendang ini.
Filosofi di Balik Sepiring Rendang
Rendang bukan hanya soal kelezatan, tetapi juga cermin nilai hidup yang diwariskan turun-temurun. Proses memasaknya yang memakan waktu berjam-jam menuntut kesabaran, seolah mengajarkan bahwa hasil terbaik lahir dari ketekunan dan ketabahan. Rendang pun jarang dimasak seorang diri; ia menghadirkan semangat gotong royong, karena dapur yang ramai justru melahirkan rasa yang lebih hangat. Dari sisi ekologis, rendang mencerminkan kearifan lokal dengan memanfaatkan sumber daya sekitar: santan dari kelapa, rempah yang tumbuh subur di tanah tropis, serta daging dari hewan ternak yang dipelihara masyarakat. Lebih dari itu, rendang menjadi simbol identitas kolektif yang melampaui batas wilayah, menyatukan orang Melayu termasuk Minangkabau, yang meskipun terpisah jarak, tetap terikat oleh kesamaan adat, budaya, dan rasa dalam sepiring hidangan yang mendunia ini.
Akhirnya,
Rendang bukan sekadar masakan. Ia adalah bukti bahwa makanan dapat menjadi jembatan sejarah, pengikat identitas, sekaligus warisan abadi Alam Melayu.* (M. Muhar Omtatok)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI