"Gedung Senayan kosong. Palu sidang tak lagi diketuk. Rakyat bersorak, tapi juga cemas. Indonesia memasuki babak baru: demokrasi tanpa wakil".
Pagi itu, Senayan terasa berbeda. Gedung wakil rakyat nan megah dengan kubah hijau yang biasanya penuh aktivitas mendadak sunyi. Lorong-lorongnya kosong, kursi-kursi paripurna berdebu, dan mikrofon yang dulu ramai oleh interupsi kini mati. Tak ada lagi rapat, tak ada lagi sidang. Dewan Perwakilan Rakyat telah resmi dibubarkan.
Di jalanan, sebagian rakyat bersorak lega. "Akhirnya habis juga sarang korupsi itu", kata seorang pedagang. Namun di sisi lain, ada juga yang murung. "Kalau tak ada DPR, siapa yang akan membawa suara kami?", ujar seorang buruh muda.
Suara dari Pinggiran
Siti, pedagang sayur di kampung Jakarta, berhenti menata sayuran saat mendengar radio tua mengumumkan: DPR dibubarkan. "Kalau harga naik lagi,kepada siapa  kita adukan?", tanya Siti pada suaminya. Anak mereka yang SMA menimpali: "Kalau kita nggak bersuara, pemerintah seenaknya bikin aturan. Aku mau ikut demo, Bu". Siti terdiam. Ia sadar, suara rakyat kecil seperti dirinya kini tak lagi punya rumah di Senayan.
Indonesia Tanpa DPR
Dalam dua tahun pertama, suasana negeri penuh campuran antara sorak gembira dan rasa waswas. Presiden kini memegang semua kendali, dari bikin aturan, jalankan kebijakan, sampai mengawasi dirinya sendiri. Awalnya, semua terasa lebih cepat, lebih praktis, seperti jalan tol yang baru dibuka. Tapi para investor masih mengerutkan kening, menunggu, "Benarkah jalan ini aman, atau ada jebakan di ujungnya?".
Masuk tahun ketiga sampai kelima, warna mulai berubah. Kekuasaan Presiden semakin tebal, sementara tanpa DPR, pintu korupsi terbuka lebih lebar. Rakyat yang kecewa tak lagi punya ruang di Senayan. Alih-alih duduk di kursi parlemen, suara oposisi pindah ke jalanan. Demonstrasi jadi rutinitas, toa jadi pengganti palu sidang.
Lalu tibalah tahun keenam hingga kedelapan, fase penentuan. Jika ekonomi melaju kencang, Siti serta seluruh rakyat, mungkin memilih diam; asal perut kenyang. Tapi kalau ekonomi tersendat, amarah bisa meledak ke mana-mana. Dan di ujung dekade, pilihan hanya dua: Indonesia semakin gelap, di mana negeri ini terjebak dalam rezim otoriter yang mengekang; atau cahaya, lahirnya demokrasi gaya baru, misalnya referendum digital, di mana rakyat memilih kebijakan langsung dari layar ponsel. Eksperimen berani yang bisa bikin Indonesia jadi pionir demokrasi masa depan. Atau justru terjun bebas ke jurang krisis.
Analisis dan Refleksi