Esai ini sempat terbit dalam versi Bahasa Inggris di Medium.com dengan judul WHEN WORDS ARE CHAINS: DECOLONIZING NARRATIVE, esai ini hadir kembali dalam Bahasa Indonesia dengan beberapa pembaruan dan pengembangan gagasan. Saya merasa penting untuk menghadirkan kembali refleksi ini kepada pembaca di Kompasiana, membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang isu dekolonisasi pemikiran, narasi, dan struktur sosial yang begitu dekat dengan keseharian kita.
Beberapa waktu terakhir, saya kembali membaca buku Craft in the Real World karya Matthew Salesses. Di tengah-tengah bacaan, sebuah kesadaran mendalam tiba-tiba memicu pikiran saya, sebuah pemahaman yang sesungguhnya telah lama terpendam, namun baru kini terasa begitu nyata: saya mulai menyadari bahwa eksistensi kita berada dalam suatu bentuk kolonialisme yang tidak selalu tampak secara kasat mata, namun secara persisten menginternalisasikan narasi melalui medium teks. Kolonialisme ini, saya pahami, bukanlah tentang penaklukan teritorial fisik atau dominasi militer yang terlihat jelas di peta atau dalam catatan sejarah konvensional. Sebaliknya, ia adalah penetrasian ideologis yang jauh lebih halus, namun secara fundamental membentuk kognisi, afeksi, dan bahkan praktik naratif saya. Ia beroperasi secara terselubung, tidak dengan paksaan senjata, melainkan dengan menanamkan asumsi-asumsi tertentu mengenai realitas, temporalitas, dan nilai.
Asumsi-asumsi ini, seperti konsep kemajuan yang linear dan tak terelakkan, urgensi efisiensi maksimal dalam setiap detik yang harus dimanfaatkan, serta individualisme yang otonom dan terpisah dari komunitas, seolah kita adalah entitas yang berdiri sendiri dan bertanggung jawab penuh atas nasibnya--kemudian tanpa sadar saya internalisasi sebagai kebenaran universal yang tak terbantahkan. Padahal, sejatinya asumsi-asumsi ini merupakan konstruksi budaya tertentu yang dominan, seringkali berasal dari hegemoni pemikiran Barat yang telah menyebar luas ke seluruh penjuru dunia melalui berbagai saluran, termasuk pendidikan dan media. Secara tidak langsung, internalisasi ini berpotensi menyingkirkan atau mereduksi validitas perspektif budaya lainnya yang mungkin saya miliki, yang telah saya kenal sejak kecil dan merupakan bagian integral dari identitas saya. Ini adalah bentuk penjajahan pikiran yang lebih sulit dideteksi karena ia telah menjadi bagian dari cara kita melihat dan memahami dunia.
Saya mulai mengamati lingkungan sekitar saya, dan rasanya seperti membuka mata pada sebuah sandiwara besar yang terus dimainkan di hadapan kita. Hampir seluruh teks yang saya konsumsi setiap hari--mulai dari iklan yang secara halus mengindikasikan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat saya capai melalui akuisisi materi terbaru dan terus-menerus, seolah kebahagiaan itu bisa dibeli dan diukur dari kepemilikan; panduan penggunaan produk yang secara ketat menuntut efisiensi maksimal dalam setiap langkah dan waktu, seolah setiap detik harus menghasilkan output yang terukur; slogan korporat yang secara agresif mengagungkan inovasi tanpa henti sebagai satu-satunya jalan ke depan, menstigmakan stagnasi sebagai dosa terbesar; hingga instruksi teknologi dalam aplikasi digital yang mendorong percepatan aktivitas dan respons instan dalam setiap interaksi, membuat saya merasa tertinggal dan cemas jika tak segera merespons--semuanya secara implisit atau eksplisit cenderung mengarahkan saya pada satu paradigma: konsumsi tanpa batas, pertumbuhan eksponensial yang tak pernah berhenti, dan akselerasi konstan dalam setiap aspek kehidupan.
Melalui narasi-narasi ini, saya dapat merasakan adanya penegasan bahwa waktu adalah lintasan linear yang harus ditempuh secara "efisien" menuju suatu titik terminasi yang ideal, seperti kesuksesan finansial yang tak terhingga atau pencapaian karier puncak yang tak berujung, yang terus-menerus menuntut lebih banyak. Ada tekanan kuat bahwa masa depan merupakan satu-satunya tujuan yang patut dikejar dengan segala upaya dan pengorbanan, bahkan jika itu berarti mengorbankan masa kini, mengabaikan kesejahteraan pribadi, atau merusak hubungan sosial. Lebih jauh lagi, inaktivitas, refleksi mendalam, atau resistensi terhadap laju perkembangan yang serba cepat berpotensi dianggap sebagai kegagalan, kemunduran, atau bahkan tanda ketidakmampuan untuk beradaptasi. Bahkan retrospeksi terhadap masa lalu dapat dipandang sebagai suatu kekeliruan, penghambat kemajuan yang harus dieliminasi demi mencapai "kemajuan"Â yang didefinisikan secara sempit dan materialistis. Pola pikir ini, yang berakar kuat pada modernitas Barat dan sistem kapitalisme global, berpotensi menciptakan tekanan tak kasat mata yang mendorong saya untuk terus bergerak, berproduksi secara masif, dan mengonsumsi tanpa henti, menciptakan siklus yang tak berujung.
Saya seringkali mengabaikan ritme alami tubuh dan pikiran saya, mengorbankan kesejahteraan internal, serta mengabaikan keberlanjutan lingkungan dan ekosistem yang rapuh, yang terus-menerus dieksploitasi demi pertumbuhan yang tak terbatas. Implikasi dari paradigma ini, saya rasakan, dapat mencakup kelelahan kolektif yang mendalam dan krisis ekologis yang semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari, seolah kita semua terperangkap dalam roda hamster yang tak berhenti berputar, tanpa tujuan yang jelas selain terus berlari.
Dekolonisasi dalam Kehidupan Sosial Sehari-hari
Kesadaran ini semakin diperkuat ketika saya melihat bagaimana narasi yang terkolonisasi ini meresap ke dalam ritual sosial dan ekspektasi masyarakat, membentuk standar "kesuksesan" yang sempit dan seringkali menjerat. Beberapa waktu lalu, saya mengikuti diskusi tentang wisuda sebagai bagian dari budaya kapitalisme dan konsumerisme di media sosial. Perdebatan ini menyadarkan saya bahwa momen transisi akademis yang seharusnya personal dan bermakna, kini diwarnai oleh tekanan untuk merayakan dengan cara-cara yang memakan biaya dan menunjukkan status, seolah "kesuksesan" harus diukur dari kemewahan pesta, jumlah tamu, atau seberapa banyak yang bisa dikonsumsi.
Ini menciptakan beban finansial dan emosional yang signifikan bagi banyak keluarga, yang merasa terdorong untuk memenuhi standar sosial yang tidak realistis demi pengakuan. Fenomena ini, khususnya di Sulawesi Selatan, juga tercermin dalam hierarki pekerjaan yang terbentuk di masyarakat, sebuah hierarki yang mencerminkan warisan kolonial dan nilai-nilai kapitalistik. Saya mengamati bahwa profesi seperti PNS, dosen, dokter, polisi, dan tentara secara luas dianggap sebagai tolok ukur "kesuksesan" yang sempurna, puncak pencapaian hidup.
Narasi ini tidak hanya didasarkan pada stabilitas finansial, tetapi juga pada status sosial, pengakuan formal, dan persepsi "keamanan" di masa depan yang dijanjikan oleh pekerjaan-pekerjaan ini. Persepsi ini diperkuat oleh sejarah panjang birokrasi dan militer yang sejak zaman kolonial telah menjadi simbol kekuasaan dan prestise. Sebaliknya, pekerjaan seperti ojol, pedagang kaki lima, atau seniman seringkali dipandang sebagai indikasi bahwa seseorang "belum mencapai kesuksesan" secara utuh, atau bahkan sebagai pekerjaan "sementara" sebelum mencapai sesuatu yang lebih "mapan." Pekerjaan-pekerjaan ini, meskipun menawarkan fleksibilitas dan potensi inovasi, seringkali kurang mendapatkan pengakuan sosial karena tidak terikat pada struktur formal atau simbol-simbol status yang terlihat.
Saya, sebagai seorang yang menghabiskan berjam-jam di depan laptop untuk menulis, merasakan tekanan sosial ini secara langsung. Pekerjaan saya sebagai penulis, yang tidak menawarkan "jaminan masa depan" seperti pekerjaan "ber-PDH" (Pakaian Dinas Harian) yang dianggap stabil dan bergengsi, sering dianggap sebagai pilihan yang kurang menjanjikan atau bahkan "belum serius." Ini adalah ironi yang menyakitkan, mengingat betapa pentingnya narasi dan kreativitas dalam membentuk budaya dan pemikiran. Yang lebih mencolok, saya melihat banyak teman di usia produktif, termasuk beberapa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan yang seharusnya memiliki semangat kritis dan perubahan, yang justru hanya ingin mengerjakan pekerjaan yang melibatkan "PDH", seperti menjadi panitia pelaksana pemilu (PPS/PPK), seolah pengakuan dan status formal adalah satu-satunya bentuk keberhasilan yang patut dikejar. Keinginan untuk mengenakan seragam, memiliki jabatan resmi, dan mendapatkan pengakuan dari sistem yang terstruktur menunjukkan bagaimana nilai-nilai yang berakar pada birokrasi dan hierarki zaman kolonial masih mengakar kuat dalam mentalitas masyarakat, bahkan di kalangan mereka yang seharusnya menjadi agen perubahan.
Ini menunjukkan bagaimana kolonialisme ideologis telah menciptakan standar kesuksesan yang sempit dan materialistis, menyingkirkan validitas bentuk-bentuk keberhasilan atau kontribusi lain yang tidak sesuai dengan cetakan yang telah distandardisasi. Betapa anehnya, saya pikir, bahwa bahkan mereka yang seharusnya kritis terhadap struktur dominan, terkadang belum menyadari belenggu kolonialisme yang begitu halus namun mengakar dalam kehidupan sosial kita ini, memengaruhi pilihan karier, aspirasi, dan bahkan cara mereka mendefinisikan nilai diri dan orang lain.