Mohon tunggu...
Muhammad Zaidan Sinaga
Muhammad Zaidan Sinaga Mohon Tunggu... Teacher

LIFE IS SHORT MAKE IT VALUABLE

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Habibie dan Teknologi Indonesia

13 Oktober 2025   13:36 Diperbarui: 13 Oktober 2025   13:36 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://visual.republika.co.id/berita/pxpa9x314/bj-habibie-dan-pesawat-kertas-bagian-2

https://www.jawapos.com/nasional/01237355/mengenang-bj-habibie-pembuat-pesawat-yang-pernah-benci-pesawat-2
https://www.jawapos.com/nasional/01237355/mengenang-bj-habibie-pembuat-pesawat-yang-pernah-benci-pesawat-2

Kisah B.J. Habibie dan pembangunan pondasi teknologi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ikatan personal dan politiknya dengan Presiden Soeharto. Kedekatan ini telah terjalin sejak Habibie berusia 10 tahun di Makassar, di mana Soeharto, yang markasnya berada di depan rumah keluarga Habibie, sering berkunjung untuk berbincang dalam bahasa Jawa dengan ibunda Habibie. Ikatan emosional ini semakin mendalam setelah ayah Habibie meninggal dunia di pangkuan Soeharto, menjadikan sang Jenderal sebagai sosok ayah yang sangat dihormati oleh Habibie. Didorong oleh ibunya dan saran dari tokoh nasionalis seperti Muhammad Yamin, Habibie memilih jalur pendidikan teknologi pesawat terbang di Jerman pada tahun 1955. Setelah meraih sukses besar dan menduduki posisi penting di perusahaan penerbangan Eropa (MBB), Habibie dipanggil pulang ke Tanah Air pada tahun 1974 atas perintah Soeharto. Kepulangan ini menandai dimulainya era ambisi teknologi tinggi Indonesia.

Pada masa-masa awal, Habibie dan tim insinyurnya ditempatkan di sebuah divisi di bawah Pertamina. Namun, ambisi besar harus diwujudkan dalam entitas terpisah. Setelah memilih Bandung, yang sudah memiliki *workshop* penerbangan (LIPNur) milik Angkatan Udara, Habibie mendirikan **PT IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio)** pada tahun 1976. Setahun kemudian, ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi, posisi yang dipegangnya selama 20 tahun. Untuk menopang tugasnya, ia membentuk **BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi)**, sebuah badan teknis yang menjembatani kebijakan makro Bappenas dengan penerapan teknologi di tingkat mikro. Visi Habibie adalah mencapai transformasi yang dipercepat. Strategi industrialisasi teknologi tinggi ini didukung penuh oleh Soeharto dengan dana melimpah dari *oil boom* saat itu. Program pengembangan teknologi di IPTN dilakukan secara bertahap:

1.  Diawali dengan memproduksi pesawat berdasarkan lisensi dari luar (seperti **NC212**).

2.  Dilanjutkan dengan kolaborasi penuh dengan perusahaan asing, menghasilkan pesawat **CN235** yang bahkan berhasil diekspor.

3.  Puncaknya adalah tahap inovasi mandiri, dengan merancang pesawat komuter buatan 100% anak bangsa, yaitu **N250**.

Ketika N250 sukses melakukan uji terbang perdana pada 10 Agustus 1995, kebanggaan nasional memuncak, dan Soeharto merasa yakin dengan strategi ini, mengangkat Habibie menjadi Wakil Presiden. Pesawat ini menjadi monumen dari rezim teknologi Orde Baru. Namun, rezim yang dibangun di atas dukungan politik sentralistik yang kuat ternyata sangat rentan. Proyek N250 menemui ajal saat krisis moneter melanda pada tahun 1998. Di bawah tekanan IMF, *Letter of Intent* yang ditandatangani Soeharto secara spesifik memotong anggaran N250. Pemotongan ini menghalangi N250 untuk menyelesaikan tahap sertifikasi penuh yang vital (membutuhkan empat prototipe), dan proyek terhenti. Disusul kemudian dengan pembubaran BPIS (Badan Pengelola Industri Strategis), secara efektif menghancurkan struktur teknologi yang telah dibangun Habibie.

Kini, wacana tentang industri riset kembali muncul melalui **BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional)**. Namun, BRIN---yang muncul dari usulan para akademisi kepada Megawati dan kemudian disentralisasikan---dihadapkan pada kritik keras. Struktur BRIN saat ini dinilai tidak efisien, terbebani oleh anggaran gaji pegawai yang besar, dan yang paling krusial, tidak memiliki koneksi yang efektif dengan sektor industri, sebuah masalah yang sejatinya telah diselesaikan pada era BPPT dan IPTN Habibie. Hilangnya peran Habibie dan sejarahnya dalam narasi BRIN saat ini dianggap sebagai 'de-Habibienisasi', sebuah penyangkalan naif terhadap sejarah panjang pembangunan ekosistem inovasi yang telah dirintis dengan pengorbanan politik dan finansial tinggi di masa lalu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun