Perkawinan beda agama di Indonesia merupakan isu hukum yang terus menimbulkan perdebatan, baik dari aspek yuridis maupun aspek agama. Meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) telah menjadi payung hukum nasional, pasal-pasal yang terkait tidak secara tegas memberikan jawaban pasti mengenai sah atau tidaknya perkawinan beda agama. Akibatnya, praktik tersebut sering kali berujung ke pengadilan, di mana yurisprudensi memegang peranan penting dalam memberikan arah interpretasi hukum.
Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. Ketentuan ini secara implisit dianggap tidak membuka ruang bagi perkawinan beda agama, karena sahnya perkawinan harus sesuai ajaran agama yang pada dasarnya melarang perbedaan keyakinan dalam akad nikah. Namun, Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan Tahun 2006 justru membuka celah pencatatan perkawinan beda agama apabila sudah ada penetapan pengadilan.
Sejarah menunjukkan adanya inkonsistensi sikap pengadilan. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 misalnya, pernah menyatakan bahwa perbedaan agama tidak merupakan larangan perkawinan, sehingga membuka jalan bagi pencatatan di Kantor Catatan Sipil. Putusan ini banyak dijadikan rujukan bagi Pengadilan Negeri dalam mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama pada dekade-dekade berikutnya.
Namun perkembangan terbaru menunjukkan pergeseran arah yurisprudensi. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, yang menegaskan bahwa larangan perkawinan beda agama tidak bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah Agung mulai lebih cenderung menolak permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Hal ini tampak dalam beberapa putusan kasasi yang menguatkan penolakan Pengadilan Negeri, seperti kasus PN Blora tahun 2017.
Dari perspektif hukum Islam, persoalan ini semakin jelas. Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara tegas melarang perkawinan antara seorang muslim dengan non-muslim. Pasal 40 huruf (c) KHI melarang perkawinan antara pria muslim dengan wanita non-muslim, dan Pasal 44 secara eksplisit melarang wanita muslim menikah dengan pria non-muslim. Fatwa MUI tahun 1980 bahkan menegaskan pengharaman perkawinan beda agama, yang kemudian diperkuat kembali dalam fatwa tahun 2005.
Pertentangan antara yurisprudensi dengan hukum Islam semakin kompleks karena hukum positif di Indonesia sendiri mengadopsi prinsip agama dalam menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menjadikan hukum agama sebagai syarat sah perkawinan, sehingga secara otomatis mengikat umat Islam pada larangan-larangan dalam syariat. Dengan demikian, yurisprudensi yang melegalkan perkawinan beda agama dianggap bertentangan dengan landasan filosofis UU Perkawinan itu sendiri.
Meskipun demikian, sebagian kalangan berpendapat bahwa negara harus memberikan ruang bagi kebebasan individu dalam memilih pasangan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia. Pandangan ini sering dijadikan dasar oleh para hakim yang mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama, dengan merujuk pada Pasal 27 dan 29 UUD 1945 yang menjamin persamaan hak warga negara dan kebebasan beragama. Di titik inilah perbedaan tafsir muncul, antara penekanan pada nilai HAM versus kepatuhan pada hukum agama.
Dalam praktik, banyak pasangan beda agama menempuh jalan keluar melalui "penyelundupan hukum", misalnya menikah di luar negeri agar perkawinannya dapat dicatatkan di Indonesia, atau melakukan konversi agama semu demi memenuhi syarat administratif. Cara lain adalah dengan mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar perkawinannya bisa dicatatkan, meskipun putusannya tidak seragam. Hal ini menunjukkan lemahnya sinkronisasi hukum nasional terkait isu ini.
Dari perspektif politik hukum, keberadaan yurisprudensi yang membolehkan perkawinan beda agama dapat dianggap sebagai bentuk liberalisasi hukum keluarga, sementara ketentuan UU Perkawinan dan KHI justru mengarah pada islamisasi hukum. Pertentangan ini mencerminkan tarik menarik antara nilai sekularisme dan nilai agama dalam pembentukan hukum nasional. Akibatnya, terjadi disparitas putusan pengadilan yang menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat.
Kesimpulannya, legalitas yurisprudensi mengenai perkawinan beda agama di Indonesia masih berada dalam posisi problematik. Di satu sisi, ada yurisprudensi yang memberi jalan bagi pencatatan perkawinan beda agama, namun di sisi lain ada UU Perkawinan, KHI, dan hukum Islam yang menegaskan larangannya. Pertentangan ini menunjukkan perlunya rekonstruksi hukum perkawinan di Indonesia agar terdapat kepastian hukum yang tidak hanya sejalan dengan prinsip konstitusi, tetapi juga konsisten dengan nilai agama yang dianut mayoritas masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI