Warga kota yang tidak akrab dengan tetangga mungkin akan bertanya-tanya, apa serunya membicarakan tetangga? Sesama orang desa yang berasal dari akar budaya yang sama, wajar jika memiliki kebiasaan yang serupa. Berkumpul di ruangan tengah  kemudian membuka obrolan. Tentu bukan obrolan politik Timur Tengah, atau jawara Liga Sepakbola. Membicarakan tetangga sendiri menjadi topik utama setiap hari.Â
Mungkin Anda berpikir jika ngobrolin tetangga biasa dilakukan sore atau malam tatkala semua orang usai berkegiatan. Bukan, bukan hanya waktu demikian. Kami bisa membicarakan tetangga mulai dari pagi buta. Ya, sesaat setelah kami terbangun dari tidur nyenyak yang panjang.
Pada awalnya, saya hanya mengira jika kebiasaan ini hanya dalam keluarga kami. Ternyata, ketika berkunjung ke rumah saudara ya sama saja. Bangun pagi bukannya menambah kualitas diri dengan update informasi dari TV, tetapi langsung bertanya tentang kabar tetangga yang sudah sehari-dua hari tak berjumpa. Bukan karena rindu ingin bersua, sekedar ingin tahu saja apakah mereka membeli baju baru ke pasar, atau perihal anak gadisnya yang tak kunjung punya pacar. Syukur kalau tidak ke mana-mana. Bisa timbul iri hati apabila tahu tetangga pergi bertamasya tanpa mengajak ikut serta.
Saya sendiri sedikit heran, ketika membicarakan orang lain volume suara kami begitu tinggi. Seakan membicarakan perkara serius yang mesti ditanggapi dengan serius pula. Mungkin karena masih ada cukup energi  untuk menganalisis kejelekan-kejelekan orang lain sehingga perlu penegasan jika orang lain memang jelek. Nada suara akan lebih rendah apabila membicarakan kebaikan seseorang, apalagi orang yang telah meninggal dunia.
Beberapa anggota keluarga saya tidak suka keheningan. Jemu rasanya jika masih pagi tidak mengeluarkan suara keras. Banyak cara untuk mengusir keheningan, bisa mendengar musik atau ceramah dari stasiun radio lokal. Namun, itu saja tidak cukup. Sepertinya bibir pun gatal  kalau sekedar diam, terlebih kalau masih pagi nyatanya otak mengajak mulut untuk bekerja.
Ketika matahari mulai tergelincir, kegiatan fisik dan kesibukan tidak mengganggu untuk terus membicarakan tetangga. Memang hebat orang-orang di kampung kami. Apalagi ibu-ibu, multitasking. Mulutnya masih membicarakan kejelekan tetangga sedangkan tangannya memegang pisau dapur untuk memotong sayur. Saya heran, manakah yang menjadi kegiatan utama, memasak atau bergosip?
Sebagai anak, hanya bisa menanggapi dengan mendengarkan, mengangguk, atau membalas dengan kalimat-kalimat pendek. Kalau tidak ditanggapi, seakan tidak menghargai.Â
Mau bagaimana lagi, saya tidak tertarik dengan topik seperti ini. Lebih suka membicarakan masa depan, atau membicarakan masa lalu yang mengandung hikmah dan kebijaksanaan. Bukan sesuatu yang berat apalagi membutuhkan pembuktian empiris, hanya saja otak ini penat jika disesaki informasi yang mudah ditebak polanya.
Kelakuan tetangga, sama seperti kelakuan manusia pada umumnya. Mereka bernafas, tidur, dan makan. Sebuah pola yang alami. Begitupula kehidupannya yang tidak biasa, misal bekerja, bertamasya, atau memperoleh rezeki tak disangka-sangka. Tidaklah banyak sisi menarik dari kehidupan manusia yang berulang, mudah diketahui kronologi kejadiannya; dari mana bermula serta akan ke mana akhirnya. Â Â
Apabila malam menjelang, lagi-lagi warga benci keheningan. Setelah perut terisi makanan, energi untuk kembali membicarakan tetangga tersedia pula.Â