Begitu sering suatu kebijakan negara terkesan dipaksakan. Banyak yang berteriak menolak dengan alasan belum siap. Tapi, kapankah kita akan siap?
***
Saya adalah tipe orang yang suka memandang suatu kebijakan Pemerintah dari sisi baiknya. Sisi jeleknya, banyak juga tetapi itu dianggap sebagai resiko sebuah kebijakan.
Contoh terbaru adalah masalah zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah negeri. Banyak yang berteriak menolak bahkan berontak.
Seorang Ibu di Jakarta ditahan polisi karena 'memberontak' dengan menggunggah ajakan untuk menurunkan foto Presiden di ruang kelas.
Sangat disayangkan, menentang sebuah kebijakan harus dibayar dengan merasakan dinginnya 'jeruji penjara'. Apakah bentuk kekesalan harus berakhir dengan penyesalan?
Demi Kebaikan Bersama
Perubahan zaman sangat menuntut siapa pun, termasuk Pemerintah, untuk segera mengambil kebijakan meskipun terasa pahit. Akan ada yang merasa dirugikan tetapi tentu saja banyak juga yang diuntungkan.
Saya akan fokus pada sebuah dasar pemikiran bahwa kebijakan diambil demi kebaikan bersama. Berdebat terlalu lama atau menimbangnya dengan 'terlalu berhati-hati' akan disalip oleh bangsa lain.
Pemerintah dimanapun bertindak dari banyak sisi. Di Indonesia, begitu banyak kebijakan negara yang terkesan membela bangsa lain. Tetapi, ada pertimbangan yang sulit dipahami oleh rakyat biasa seperti saya.
Utang yang bertumpuk, misalnya, bisa jadi adalah bentuk kegagalan dalam mengelola negara. Masalahnya, negara mana yang tidak berutang? Korea Utara?