Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Terkadang Perlu 'Memaksakan' Kebijakan

14 Juli 2019   06:36 Diperbarui: 14 Juli 2019   07:18 44 1

Begitu sering suatu kebijakan negara terkesan dipaksakan. Banyak yang berteriak menolak dengan alasan belum siap. Tapi, kapankah kita akan siap?

***

Saya adalah tipe orang yang suka memandang suatu kebijakan Pemerintah dari sisi baiknya. Sisi jeleknya, banyak juga tetapi itu dianggap sebagai resiko sebuah kebijakan.

Contoh terbaru adalah masalah zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah negeri. Banyak yang berteriak menolak bahkan berontak.

Seorang Ibu di Jakarta ditahan polisi karena 'memberontak' dengan menggunggah ajakan untuk menurunkan foto Presiden di ruang kelas.

Sangat disayangkan, menentang sebuah kebijakan harus dibayar dengan merasakan dinginnya 'jeruji penjara'. Apakah bentuk kekesalan harus berakhir dengan penyesalan?

Demi Kebaikan Bersama

Perubahan zaman sangat menuntut siapa pun, termasuk Pemerintah, untuk segera mengambil kebijakan meskipun terasa pahit. Akan ada yang merasa dirugikan tetapi tentu saja banyak juga yang diuntungkan.

Saya akan fokus pada sebuah dasar pemikiran bahwa kebijakan diambil demi kebaikan bersama. Berdebat terlalu lama atau menimbangnya dengan 'terlalu berhati-hati' akan disalip oleh bangsa lain.

Pemerintah dimanapun bertindak dari banyak sisi. Di Indonesia, begitu banyak kebijakan negara yang terkesan membela bangsa lain. Tetapi, ada pertimbangan yang sulit dipahami oleh rakyat biasa seperti saya.

Utang yang bertumpuk, misalnya, bisa jadi adalah bentuk kegagalan dalam mengelola negara. Masalahnya, negara mana yang tidak berutang? Korea Utara?

Kita hidup di negara demokrasi dimana begitu banyak kepentingan yang harus diakomodir, termasuk kepentingan asing. Saya hanya ingin mengatakan bahwa pragmatisme politik lebih baik dibanding tanpa ada kebijakan sama sekali.

"Dengan alasan untuk kebaikan semua pihak, sebuah kebijakan benar-benar perlu dilaksanakan."

Saya bukan ahli tata kota, tapi coba perhatikan apabila sebuah kebijakan tidak segera dilaksanakan. Moda Raya Terpadu (MRT) tidak akan bisa kita rasakan manfaatnya jika Pemerintah tidak 'memaksakan' untuk melaksanakan. Pak Prabowo pun tidak bisa bertemu dengan Pak Jokowi di MRT, mungkin di pulau reklamasi yang berubah nama!

Kesan sebuah kebijakan terlalu memihak memang akan sangat terasa di negara demokratis. Ini bukan negara komunis dimana tidak ada pebisnis atau investasi asing. Bukankah sudah kesepakatan kita untuk membuka diri pada investasi. Maka, kepentingan mereka harus diakomodir.

Kita Belum Bisa Mandiri

Itu realita lho. Membuang sampah saja belum bisa. Tetapi masih banyak yang percaya diri kalau kita bisa mengurus diri sendiri?

Apabila sedari awal kita sudah bersepakat untuk melibatkan asing dalam usaha pembangunan maka tidak usah recok kalau kepentingan asing begitu terasa.

Saya belajar dari berbagai media, kalau realita kebijakan yang berpihak sulit diubah kecuali kita bisa memanfaatkannya. Hal-hal besar yang sulit dilawan bukan berarti setuju. Tetapi, kenapa tidak kita memanfaatkan dan menjalankan apa yang sudah disepakati.

Selama ini saya tidak menolak mentah-mentah sebuah kebijakan pembangunan Pemerintah. Karena, saya sadar bahwa banyak diantara kita baru mempunyai 'paradigma' tetapi belum punya usaha nyata.

***

Apabila terus berkutat pada paradigma yang baru ada didalam kepala, kapan kebijakan akan segera terlaksana. Karena, keragu-raguan hanya akan membuat lamban dalam berjalan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun