Pahlawan Tanpa Tanda Jasa: Sebuah Kisah di Balik Senyum Guru
Sebuah ketikan untuk menyuarakan guru yang terpinggirkan
Pagi yang cerah, langit yang indah pertanda hari yang baik untuk mengawali langkah yang mulia, menjadi seorang guru yang tabah, semangat patriotik tertanam untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, selaras dengan amanat undang-undang negara tercinta. Kehidupan yang inspiratif seorang guru yang terus-menerus diajarkan generasi ke generasi berikutnya untuk meneruskan jejak mulia ini, menjadi seorang pendidik handal bagi generasi mendatang.
Di antara barisan pendidik yang mengemban amanat besar itu adalah Bu Lastri. Setiap pagi, ia melangkah mantap menuju sebuah sekolah di pelosok desa, wajahnya memancarkan ketulusan yang sama seperti embun di dedaunan pagi. Senyumnya ramah, selalu siap menyambut puluhan pasang mata polos yang menatapnya penuh harap. Di hadapan murid-muridnya, Bu Lastri adalah sosok sempurna yang tidak pernah mengeluh, selalu bercerita tentang cita-citanya yang setinggi langit dan kerja kerasnya yang berbuah manis. Bu Lastri adalah gambaran nyata "pahlawan tanpa tanda jasa," sebuah frasa yang sering kita dengar, bahkan tanpa perlu bertanya lebih dalam apa artinya bagi mereka yang menyandangnya.
Namun, di balik senyum tulus itu, ada sebuah kisah yang tersembunyi. Sebuah narasi yang tak pernah ia ceritakan di depan kelas, bahkan mungkin, tak akan pernah ia ucapkan pada siapa pun. Ini adalah kisah tentang pengabdian yang berbenturan dengan realitas, tentang sebuah panggilan mulia yang diuji oleh tuntutan hidup yang tidak kalah nyata. Sebuah realitas yang sangat jauh dari apa yang ia impikan dahulu: menjadi seorang guru yang mengajar anak-anak di sekolah, mendapatkan gaji yang cukup untuk kehidupannya, dan bisa menata masa depannya dengan sejahtera. Ternyata, semua itu jauh dari angan-angannya.
Bu Lastri hanyalah seorang guru honorer. Setiap hari, ia mengajar berbagai mata pelajaran, apa pun yang bisa ia masuki, demi mengisi jam kosong atau menggantikan guru yang berhalangan hadir. Gajinya dihitung per jam, dan pada akhirnya, setiap bulan ia hanya mengantongi sekitar 200 hingga 300 ribu rupiah. Paling bercandanya, jika ia beruntung dan banyak rekan guru tidak masuk sehingga jam mengajarnya bertambah, ia mungkin bisa mencapai 400 ribu rupiah. Angka-angka itu, ironisnya, terasa begitu kecil jika dibandingkan dengan bekal ilmu yang ia sampaikan, senyum yang ia berikan, dan harapan besar yang ditanamkan pada setiap jiwa muda di depannya.
Gaji sekecil itu, bagi Bu Lastri, bukan lagi soal menabung atau merencanakan masa depan. Ini adalah pertarungan harian melawan kebutuhan dasar. Setiap akhir bulan, ia harus memutar otak, mencoba menyeimbangkan antara uang sewa kontrakan sederhana, biaya listrik, dan kebutuhan dapur yang tak pernah bisa ditunda. Seringkali, sayur mayur dan lauk pauk sederhana adalah kemewahan yang harus dipertimbangkan matang-matang. Buku-buku referensi baru untuk mengajar? Pakaian yang layak untuk ke sekolah? Itu semua hanya mimpi di siang bolong. Belum lagi kuota yang sudah menjadi kebutuhan di era sekarang, dan BBM untuk kendaraan yang sudah menemaninya sejak menempuh jenjang perkuliahan.
Ironisnya, saat ia mencoba mengutarakan beban ini kepada beberapa kerabat atau bahkan sesama guru dengan status yang lebih baik, respons yang ia terima seringkali sama: "Ah, Bu Lastri kan Guru,guru itu pahlawan loh!. Mengajar itu kan pengabdian, bukan mencari kaya." Kalimat itu, yang awalnya terdengar mulia, kini terasa seperti belenggu yang mengikat. Seolah-olah, penghargaan tertinggi bagi dedikasinya adalah pujian kosong, bukan jaminan kesejahteraan yang setara.Guru yang telah diangkat menjadi PNS,setidaknya kehidupan mereka terjamin,gaji mereka terdata,jumlah dananya tersiar berita di saku celana mereka,notifikasi Mandiri,BRI,BSI,BNI,BCA setidaknya muncul setiap tanggal muda. Doktrin "pahlawan tanpa tanda jasa" telah menjelma menjadi semacam pembenaran untuk mengabaikan hak-haknya Bu Lastri, menuntutnya untuk terus berkorban tanpa batas, menganggap keikhlasannya sebagai satu-satunya "gaji" yang layak ia terima.
Di luar jam sekolah, saat guru lain mungkin menikmati waktu istirahat atau mempersiapkan materi untuk esok, Bu Lastri seringkali harus mencari penghasilan tambahan. Terkadang ia menerima jahitan dari tetangga, membantu berjualan di warung kecil, atau sesekali menjadi ojek. Kelelahan fisik dan batinnya menumpuk, namun ia tahu, jika tidak begitu, dapurnya tidak akan mengepul, esok paginya ia tidak bisa berangkat mengajar dengan tangki kosong kendaraannya.
Setiap langkah Bu Lastri menuju sekolah di pagi hari, setiap senyum yang ia berikan kepada murid-muridnya, adalah bukti nyata dari semangat pengabdiannya. Namun, di setiap langkah itu pula, ada pertanyaan yang menggantung di benaknya: "Sampai kapan saya harus seperti ini?",'Apa benar Guru Pahlawan,Kenapa Pahlawan tidak mendapatkan apresiasi,penghargaan,dan kesejahteraan", Atau, "Apakah pahlawan memang seharusnya berjuang sendirian dalam kesenyapan, tanpa tanda jasa yang benar-benar bisa menopang hidupnya?"
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan karena ia tak ikhlas. Ia mencintai profesinya, ia mencintai anak-anak didiknya. Tapi, ia juga manusia, dengan kebutuhan, dengan mimpi untuk memiliki hidup yang lebih stabil, agar ia bisa mencurahkan energi sepenuhnya untuk mendidik, tanpa dihantui pikiran tentang esok hari. Doktrin "pahlawan tanpa tanda jasa" telah menutupi fakta bahwa bahkan pahlawan pun butuh makan, butuh tempat tinggal, dan butuh kepastian masa depan.
Kisah Bu Lastri bukanlah anomali, melainkan cerminan dari ribuan guru honorer di seluruh pelosok Indonesia yang terekam jelas dalam berbagai data dan survei, bahkan yang dikeluarkan oleh lembaga riset yang kredibel di indonesia. Realitas dari ketiga hal ini menunjukkan bahwa "pahlawan tanpa tanda jasa" adalah sebuah doktrin yang sangat efektif menyembunyikan masalah serius di balik gemerlap retorika.