Mohon tunggu...
Muhammad Toha
Muhammad Toha Mohon Tunggu... profesional -

Seorang kuli biasa. Lahir di Banyuwangi, menyelesaikan sekolah di Bima, Kuliah di Makassar, lalu jadi kuli di salah satu perusahaan pertambangan di Sorowako. Saat ini menetap dan hidup bahagia di Serpong--dan masih tetap menjadi kuli.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Lakon Buruk Pertambangan Indonesia

11 Desember 2014   22:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:30 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_359005" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: Putracentre.blogspot.com"][/caption]

Berandai-andai jika Industri Pertambangan Indonesia saat ini dilakonkan sebagai film atau Sinetron, hampir pasti Pertambangan Indonesia akan kebagian lakon sebagai pemeran antagonis. Ketika menyebut pertambangan, streotipe yang disematkan cenderung berkonotasi negatif. Industri pertambangan kerap diasosiasikan sebagai kegiatan eksploitasi alam yang merusak dan mencemari lingkungan, penyebab degradasi hutan, dan yang terbaru dianggap sebagai kontributor terjadinya pemanasan global (global warming).

Tuduhan lainnya, pertambangan diangggap sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia dan marjinalisasi ekonomi masyarakat lokal, penyerobotan lahan/tanah masyarakat, degradasi kehidupan sosial & budaya, serta khusus perusahaan tambang asing dianggap sebagai wujud kolonialisme baru (neokolonialism) yang mengeruk kekayaan Indonesia, dengan menyisakan kerugian dan kemudaratan bagi masyarakat.

Salah satu LSM di Indonesia yang gencar menyuarakan penolakannya terhadap aktivitas pertambangan membahasakan pertambangan seperti kutipan berikut;

“Di seluruh Indonesia, operasi pertambangan menciptakan kehancuran dan pencemaran lingkungan. Ongkos produksi rendah yang dibangga-banggakan perusahaan dalam laporan tahunannya dicapai dengan mengorbankan lingkungan. Sebagian besar operasi pertambangan dilakukan secara terbuka (open pit) di mana ketika suatu wilayah sudah dibuka untuk pertambangan, maka kerusakan yang terjadi di wilayah tersebut tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible damage). Selain itu, hampir semua operasi pertambangan melakukan pembuangan limbah secara langsung ke sungai, lembah, dan laut. Hal ini mengakibatkan perusakan dan pencemaran sungai dan laut yang merupakan sumber kehidupan masyarakat setempat.

Wilayah operasi pertambangan yang seringkali tumpang tindih dengan wilayah hutan serta wilayah hidup masyarakat adat dan lokal telah menimbulkan konflik atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat. Tidak adanya pengakuan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat adat atas wilayah hidup mereka menyebabkan pemberian wilayah konsesi dengan semena-mena tanpa ada persetujuan dari masyarakat. Kelompok masyarakat harus terusir dan kehilangan sumber-sumber kehidupannya, baik akibat tanah yang dirampas mapun akibat tercemar dan rusaknya lingkungan akibat limbah operasi pertambangan” (www.walhi.co.id)

Sebuah hasil penelitin dari Lingkar Survey Indonesia bebarapa tahun yang lalu juga setidaknya mencerminkan betul bagaimana persepsi masyarakat terhadap perusahaan pertambangan, khususnya perusahaan tambang asing. Dari pertanyaan, bagaimana tanggapan masyarakat atas keterlibatan perusahaan asing dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, hampir 70 % responden menyatakan ketidaksetujuannya atas keterlibatan perusahaan tambang asing dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Hanya kurang dari 10% saja yang setuju.

Hasil survey tersebut sedikit banyak dilatarbelakangi oleh persepsi sebagian masyarakat Indonesia terhadap kegiatan pertambangan, khususnya yang dilakukan oleh perusahaan tambang asing yang kerap diasosiasikan berdampak negatif, merusak dan merugikan.

Setelah sekian tahun reformasi berlalu, wajah industri pertambangan Indonesia memang masih kerap ditampilkan dengan wajah yang buruk. Sejumlah fakta positif tentang dunia pertambangan sepertinya kurang diberikan proporsi yang memadai di ruang-ruang publik.

Profesionalisme Menjadi Kata Kunci

Profesionalisme telah menjadi bahasa universal dalam era global seperti sekarang ini. Dalam era kompetisi dan kompetensi yang ketat seperti sekarang,pilihan yang dihadapi hanya dua; profesional atau tersinggkir. Dalamteori evolusi Charles Darwin, survival of the fittest, hanya individu-individu unggul, tangguh dan tanggap akan perubahan zaman saja yang akan tetap bertahan dalam persaingan tersebut.

Sebagai industri padat modal dengan penerapan teknologi mutakhir serta kompleksitas masalah yang dihadapi, serta “tantangan” dari pihak eksternal yang semakin menguat seperti saat ini, profesionalisme menjadi syarat mutlak yang harus diterapkan oleh industri pertambangan jika ingin tetap bertahan.

Profesional bagi perusahaan pertambangan bermakna luas dan kompleks. Kita tidak lagi dapat secara sempitmengartikan dunia pertambangan sebatas kegiatan eksplorasi dan penggalian hasil-hasil tambang dari dalam perut bumi. Sebab dalam perkembangannya, dunia pertambangan, khususnya di Indonesia harus berhadapan dengan sejumlah tuntutan yang telah menjadi wacana global maupun lokal seperti, persaingan pasar yang kompetitif, kemampuan beradaptasi dalam perubahan yang sangat cepat dan revolusioner di segala bidang, penerapan teknologi terbaru, dan tuntutan kompetensi serta profesionalisme di masing-masing bidang. Lebih spesifik lagi, dunia pertambangan dituntut pula untuk mengakomodasi dan mengaplikasikan sejumlah wacana yang telah menjadi slogan dan tuntutan global dan lokal seperti, pelestarian lingkungan hidup, konservasi dan rehabilitasi hutan, penegakkan Hak Asasi Manusia, penerapan corporate social responsibility, dan pemberdayaan masyarakat lokal.

Kompleksitas masalah tersebut menuntut perhatian dan penanganan yang setara dari perusahaan pertambangan. Dalam kegiatan industrinya—sebagai salah satu tuntutan global—perusahaan pertambangan tidak dapat lagi semata-mata memfokuskan kegiatannya pada proses produksi demi memperoleh hasil dan keuntungan maksimal, sementara di lain pihak mengabaikan wacana-wacana tersebut. Eksistensi perusahaan pertambangan bukan semata ditentukan oleh kemampuan teknis perusahaan yang berbasis high technology sehingga dapat mengekplorasi bahan-bahan tambang secara maksimal, namun juga ditentukan oleh komitmen perusahaan untuk menjalankan program-program yang berkaitan dengan pengaplikasian wacana-wacana tersebut.

Sebagai bagian dari masyarakat global, industri pertambangan dituntut untuk tidak semata berorientasi cost-benefit dalam kegiatan eksplorasinya, tetapi diharuskan untuk turut berperan serta dalam pelestarian lingkungan alam dan lingkungan sosial. Dalam kalkulasi sederhana, akan muncul pertanyaan; dimanakan letak keuntungan yang diperoleh perusahaan pertambangan dari pengaplikasian tuntutan-tuntatan tersebut?

Secara sekilas nampak bahwa pengaplikasian wacana global tersebut dalam tataran praksis membutuhkan waktu, tenaga dan dana yang tidak sedikit. Dari aspek waktu, pengaplikasian wacana tersebut membutuhkan waktu yang panjang, terus-menerus dan berkelanjutan (suistainable). Dari aspek tenaga dibutuhkan beberapa individu dari berbagai latar disiplin ilmu dan keahlian, sementara dari segi finansial dibutuhkan dana dalam jumlah yang cukup besar.

Namun tidak dilaksanakannya kegiatan-kegiatan tersebut, bukan berarti akan mengurangi cost perusahaan. Justru sebaliknya, cost yang harus dikeluarkan perusahaan akan menjadi lebih besar karena perusahaan harus menanggung kerugian atas terganggunya proses produksi, image perusahaan yang buruk, keberlanjultan kegiatan usaha yang terganggu, serta dukungan dari masyarakat, pemerintah dan stakeholdel lainnya yang rendah.

Benefit yang diperoleh perusahaan pertambangan dari kegiatan tersebut, memang tidak bisa di ukur dalam taksiran angka, karena muara (goal) dari kegiatan tersebut lebih pada tercipanya iklim produksi yang kondusif, aman dan terjamin, serta jaminan dukungan dari internal dan eksternal perusahaan.

Dalam konteks itulah maka perusahaan pertambangan kini harus menempatkan wacana-wacana tersebut sebagai bagian integral dalam proses produksi. Sejumlah konflik antara perusahaan pertambangan dan masyarakat serta pemerintah akibat terabaikannya hal-hal tersebut di atas, telah menyebabkan terganggunya proses produksi perusahaan, dengan kerugian finansial yang cukup besar. Karena itulah, invenstasi dalam industri pertambangan bermakna; jalinan yang padu antara akumulasi modal dan alat-alat produksi serta teraplikasikannya wacana-wacana tersebut di tingkat praksis.

Namun, bukan berarti dengan diimplementasikannya tuntutan-tuntutan global dan lokal tersebut, serta merta kritikan dan ‘hujatan’ terhadap perusahaan pertambangan akan mereda.

Faktanya, setelah 15 tahun reformasi, dimana dalam kurun waktu itu pula, umumnya perusahaan pertambangan Indonesia telah melakukan upaya-upaya serius untuk mengimplementasikan wacana-wacana tersebut, toh, opini dan pendapat yang kurang proporsial tentang kegiatan pertambangan masih muncul dari berbagai pihak.

Dalam konteks ini, tanpa berusaha untuk mencari kambing hitam sebagai objek yang patut disalahkan atas kerumitan masalah tersebut. Sebab aneka masalah yang muncul tersebut merupakan dampak tak terhindarkan dari perubahan yang terjadi pada skala global, nasional maupun lokal.

Berdasarkan kondisi tersebut, kurang bijak bila kita bersikap nrimo ataupun skeptis terhadap prospek pertambangan Indonesia di masa depan. Ada joke atau lelucon yang bisa dijadikan sebagai penyemangat; di Indonesia hanya ada satu hal yang tidak mungkin diganti atau dirubah; menggganti lambang negara Indonesia dari Burung Garuda menjadi Burung Beo.

Artinya, segala kesulitan dan tantangan yang dihadapi dunia pertambangan di Indonesia seperti saat ini, bukanlah sesuatu yang tidak bisa diatasi. Hal itu sangat mungkin untuk dirubah. Memang dibutuhkan tenaga ekstra untuk melakukannya, serta komitmen untuk terus-menerus mengimplemantasikan wacana-wacana tersebut ketingkatan pekerjaan nyata.

Satu hal yang perlu dicatat; selama ini memang harus diakui bahwa “pertarungan” di ranah publik untuk menampilkan opini terkait pertambangan selalu dimenangkan oleh pihak yang “menantang tambang”. Kemampuan kelompok ini untuk mengorganisir diri dalam mengemas informasi dan opini tentang dunia pertambangan, bersifat kontinu dan massal, sehingga audien yang terserap oleh informasi tersebut lebih luas dan berkelanjutan. Hal inilah yang diyakini telah mempengaruhi Pemerintah maupun stakeholder lainnya dalam mengambil kebijakan terkait dengan pertambangan.

Tanpa harus frontal melakukan “perlawanan” terbuka dengan kelompok tersebut, sesungguhnya opini dan informasi sepihak tersebut dapat ditangkal dengan melakukan berbagai diseminasi informasi dan opini yang juga bersifat massal dan kontinu pula. Sayangnya, informasi tentang dunia pertambangan selama ini masih bersifat parsial dan lebih bersifat reaktif.

Berbagai upaya yang selama ini dilakukan oleh organisasi dan asosiasi yang terkait dunia pertambangan sejauh ini sudah positif untuk menyajikan informasi dan opini yang positif ke ranah publik. Meminjam teori Marshall McLuhan, seorang pakar komunikasi, “siapa menguasai informasi, dialah yang akan menguasai dunia”, maka salah satu tantangan berat dunia pertambangan saat ini adalah merebut ruang publik dari opini dan informasi yang negatif menjadi informasi dan opini yang positif tentang dunia pertambangan.

Semoga di penghujung tahun 2014 ini menjadi refleksi positif untuk masa depan pertambangan indonesia demi kejayaan negara dan masyarakat Indonesia serta dunia pertambangan pada khususnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun