Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Meninjau Rupa Tjut Meutia di Mata H.C. Zentgraaff

24 Desember 2016   15:28 Diperbarui: 26 Desember 2016   18:09 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Tribunnewsdotcom)

Beberapa hari ini, pengguna media jejaring sosial (medsos) ramai membincangkan gambar Tjut Meutia pada mata uang pecahan Rp 1.000,00. Perbincangan itu sudah menjurus ke sesuatu yang mengkhawatirkan. Ada yang mempertanyakan urusan hijab sampai kepada keaslian gambar. Jangan-jangan isu yang mengemuka itu hanya semacam “jebakan betmen.” Sebuah jalan bagi si pengapung isu untuk “menertawai” para komentator yang sibuk berdebat di timeline medsos.  

Terlepas dari polemik itu, siapa sebenarnya Tjut Meutia? Semua pasti sudah tahu, karena cukup banyak buku sejarah dan literatur yang telah mengulas sosok pahlawan nasional yang lahir tahun 1870 di Keureutoe Aceh Utara. Barangkali, banyak pula yang belum mengetahui pandangan seorang Sersan juru tulis Belanda terhadap sepak terjangnya.

Pada kesempatan ini, tidak ada salahnya menelisik Tjut Meutia dari kaca mata musuhnya, Henri Carel Zentgraaff (H.C. Zentgraaff), Sersan juru tulis Belanda yang lahir pada tanggal 1 Oktober 1874 di Hontenisse Belanda. Dia memasuki dinas kemiliteran pada usia 20 tahun, dan ditugaskan ke Hindia Belanda (Indonesia) dengan pangkat Kopral Artileri. Setahun kemudian, dia ditugaskan ke Aceh ketika perang kolonial Belanda telah memasuki tahun ke-22. Pengalamannya selama mengikuti ekspedisi bersama pasukan kolonial di Aceh, ditulisnya dalam sebuah buku berjudul “Atjeh, Geschreven door en oud Atjehmen” yang dicetak pada tahun 1938. Kemudian, buku tersebut dialihbahasakan oleh Aboe Bakar pada tahun 1983  dengan judul Aceh.

Dalam buku itu (halaman 151), Tjut Meutia digambarkan oleh H.C. Zentgraaff sebagai berikut: “Tjut Meutia bukan saja amat cantik parasnya tetapi iapun memiliki tubuh yang tampan dan menggairahkan. Dengan mengenakan pakaian adatnya yang indah-indah menurut kebiasaan wanita di daerahnya: dengan ‘silueue’ (seluar) Aceh sutera berwarna hitam, dengan baju yang dikancingi perhiasan-perhiasan emas didadanya serta tertutup ketat, dengan rambutnya yang hitam pekat dan dihiasai ‘ulee ceumara’ emas, dengan gelang kakinya yang melingkari pergelangan lunglai, wanita itu benar-benar seorang bidadari yang mempesona....”

Zentgraaff menambahkan: “Wanita yang demikian tidaklah sepadan dengan Teuku Chik Bentara yang berwatak lemah, yang hidup berdampingan dengan Kompeni. Ia seorang puteri bangsanya yang hatinya tertambat pada perjuangan pihak yang melawan, nun, jauh di gunung-gunung...pria-pria yang berjuang pada jalan Allah yang ayah dan abangnya turut menggabungkan diri dengan mereka. Kesanalah ia ingin selalu pergi; disana ia bebas dari pengharuh ‘kaphe,’ terutama sekali dari suaminya yang tidak menarik itu, yang tidak berani mengikutinya. Itu pulalah sebabnya sehingga ia meminta cerai dari suaminya, suatu tindakan yang tak lain dari sebuah isyarat terhadap seorang laki-laki yang tidak disukai, seorang lelaki yang hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri saja.”

Kemudian, peraih bintang kehormatan Ridder in de Orde van Oranje Nassau dan Marechaussee Honorair dari Kerajaan Belanda itu mengungkapkan: “Tak lama antaranya ia (Tjut Meutia) pun kawin dengan saudara tiri bekas suaminya bernama Teuku Cut Muhammad, seorang yang tidak disukai Kompeni. Keduanya menuju ke gunung-gunung bebas dan suaminya menjadi pemimpin pasukan lawan yang sangat ditakuti Kompeni.”

Bagaimana kiprah pasangan suami isteri itu dalam menghadapi pasukan kolonial Belanda? Zentgraaff menulisnya pada halaman 152: “Bulan Juni 1902 ia menyerang detasemen infanteri, terdiri dari 30 orang dibawah pimpinan Steijn Parve dengan kerugian dipihak kita 8 orang tewas dan luka-luka, sementara pihak penyerang meninggalkan 14 orang yang gugur...”

Dan inilah detik-detik terakhir kisah kepahlawanan Tjut Meutia yang ditulis Zentgraaff pada halaman 230. “Saya masih melihat rupa wanita putih kuning itu dengan wajahnya yang cerdas, didorong oleh perasaannya yang menyala-nyala untuk tewas sebagai seorang syahid... Dengan mata yang liar dan rambut yang terurai dikepalanya, yang mengayunkan kelewangnya menyerbu kami....”

Pernyataan Zentgraaff yang paling patriotik ditulisnya pada halaman 231:

“Untuk seseorang mungkin sekali tidak ada batas penderitaan yang dapat ditanggunggnya, tetapi ada untuk penderitaan yang ditanggungnya. Suaminya yang kedua telah dihukum mati (Teuku Cut Muhammad), yang ketiga (Pang Nanggroe) tertembak pula; pengejaran yang tak henti-hentinya ditujukan kepadanya, bertahun-tahun lamanya dalam hutan belantara, suatu penderitaan yang dahsyat sekali dalam kehidupannya, terus menerus melarikan diri.....”

“Oleh karena itu bukanlah suatu kepastian, bahwa wanita itu membeli matinya dengan keyakinan akan bertemu dengan mereka yang telah mendahuluinya? Baik dia maupun Pang Nanggroe adalah orang-orang yang tidak kenal –apa yang dikatakan kemudian— ‘mel’ (melapor)! Mereka yang muda-muda akan bercerita kemudian di meunasah-meunasah (surau), bahwa mereka telah syahid tahun 1910.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun