Mohon tunggu...
Muhammad Subhan
Muhammad Subhan Mohon Tunggu... -

Muhammad Subhan, seorang jurnalis, penulis dan novelis. Editor beberapa buku. Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang. Bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Nomor kontak: 0813 7444 2075. Akun facebook: rahimaintermedia@yahoo.com, email aan_mm@yahoo.com. Blog: www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Regu Badak (10)

28 Oktober 2011   06:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:24 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

6
CITA-CITA BONDAN

Sejak memenangkan adu layangan melawan empat anak kampung tetangga, aku dan Bondan berjanji untuk saling tolong menolong. Kami sudah bagaikan dua saudara kandung. Kemanapun aku pergi bermain selalu ada dia disampingku. Keadaan itu tentu saja menguntungkan aku yang agak penakut bila menghadapi sesuatu yang harus menguji nyali.

Walau berjanji akan melawan kami adu layangan pada kesempatan berikutnya, namun ke empat anak kampung sebelah yang gayanya belagu itu tidak pernah muncul lagi. Entah kemana menghilangnya. Mungkin nyali mereka ciut dan tidak mau lagi bertanding. Atau mungkin saja mereka kapok melawan kami dan tidak mau kehilangan layangan untuk ke sekian kali. Harga layangan di waktu itu cukup mahal. Aku saja kesulitan membeli layangan. Kadang aku membuatnya sendiri menggunakan kertas koran. Kalau pakai kertas koran tentu saja mutunya tidak terjamin, mudah robek dan buruk pula bentuknya.

Di hari minggu pagi ketika libur sekolah, Bondan mengajakku ke pondok tengah sawah. Di sana ada sebuah pondok kecil yang terbuat dari batang bambu, beratapkan daun rumbia. Di samping pondok itu ada pohon jambu kelutuk. Aku dan Bondan sering bermain ke pondok itu, sering juga memanjat pohon jambu kelutuk yang seolah tak pernah dijamah orang. Petani si pemilik pondok mengizinkan kami mengambil buah jambu kelutuk itu. Dia tidak marah. Senang pula kami menerimanya.

Di pagi menjelang siang itulah aku dan Bondan menyisiri pematang sawah yang berlumpur kering. Di kiri kanan pematang bertumbuhan batang padi yang buahnya mulai menguning. Tak lama lagi petani akan memanen padi itu. Padi dijual ke pasar. Dari pasar padi menjadi beras dan dijual ke kedai-kedai. Dari kedai ibu membelinya lalu sampailah ia ke dalam periuk nasi di dapur rumahku lalu terhidang hangat di meja makan. Begitulah rantai kehidupan tumbuhan itu yang sangat bermanfaat bagi manusia.

Di tanah persawahan air menggenang yang airnya dialirkan dari selokan-selokan kecil yang dibuat petani. Entah dari mana sumber air itu. Yang pasti air berlimpah-limpah menyuburkan tanaman. Di antara batang-batang padi itu, meliuk sekali-kali anak ikan gabus yang sangat banyaknya. Ikan gabus itu muncul dari dasar lumpur di tengah persawahan. Anak ikan gabus itu berwarna merah dan hitam. Bergerombolan berenang. Di dasar lumpur tentulah ada induknya.


Sesampainya di pondok mungil tengah sawah kami duduk di terasnya. Pondok itu berkaki empat. Disangga oleh kayu balok. Angin bertiup sepoi. Mengundang kantuk. Tapi Bondan tak ingin kami datang ke pondok itu sekedar untuk tidur-tiduran. Dia bercerita tentang cita-citanya. Cita-cita yang sangat tinggi. Menjangkau usianya.

“Kau kan tahu kerja emak dan bapakku. Keduanya bukan orang kaya.”

Aku memandangnya sembari tersenyum.

“Apa bedanya dengan aku, Kawan?” ujarku.

Sejenak dia diam. Melepas pandangan ke tengah sawah. Lalu ia bersiul-siul. Di ranting pohon burung berkicau. Seolah meyambut suara siulan kawanku itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun