Mohon tunggu...
Muhammad Solihin
Muhammad Solihin Mohon Tunggu... Kuliah

futsal dan sepak bola adalah hobi saya pribadi saya lebih ke extrovert senang dengan pemikiran filsuf

Selanjutnya

Tutup

Surabaya

Dari Seragam beralih Senjata Tajam : Narasi Krisis Identitas dan Eskalasi Gangsterisme di Kalangan Pelajar Lintas Usia Surabaya

26 September 2025   13:00 Diperbarui: 26 September 2025   15:00 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tawuran gangster di surabaya https://share.google/brZ4Ctv6WhzhDRg5s

Di tengah riuh story media sosial yang tak pernah tidur, sebuah validasi berdarah kini menjadi trending topic di lorong-lorong gelap Surabaya. Ini bukan lagi soal nilai rapor atau piala kejuaraan ini adalah panggung brutal pencarian jati diri yang kebablasan "haha gaya bebas" itu adalah implementasi dari suatu mesin yang menjadi tenaga penggerak. Identitas yang seharusnya ditempa di ruang kelas, kini dicari di jalanan dengan sebilah parang dan celurit yang teracung menantang. Seragam putih abu-abu yang lusuh bukan lagi simbol pelajar, melainkan kamuflase bagi jiwa-jiwa kosong yang haus pengakuan, di mana itu ada berarti harus meneror, dan eksistensi diukur dari seberapa viralnya video aksi anarkis mereka sebuah potret tragis di mana clout (popularitas) lebih berharga daripada nyawa.

Krisis ini melewati batas usia, mencampuradukkan anak SMP yang baru mengenal dunia dengan pemuda putus sekolah yang terlanjur gelap mata, melebur dalam satu wadah bernama "geng". Loyalitas semu yang mereka agungkan di bawah panji-panji nama kelompok yang sangar, sejatinya adalah jeritan minta tolong yang paling keras. Mereka adalah generasi yang mengganti buku pelajaran dengan bom molotov, menggeser diskusi kelompok menjadi janji tawuran "untuk konten", mengubah persahabatan menjadi persekutuan kriminal. Transformasi dari seragam ke senjata tajam ini adalah klimaks dari kegagalan kolektif kita melihat bahwa di balik setiap ayunan sajam itu, ada seorang anak yang hilang, yang tak tahu lagi siapa dirinya.

Live di sosial media saat hendak tawuran https://share.google/8yQAjMU9rnzdXwF65
Live di sosial media saat hendak tawuran https://share.google/8yQAjMU9rnzdXwF65

Arena digital ini telah bermutasi menjadi ruang inkubasi kekerasan sekaligus etalase perekrutan. Algoritma media sosial yang dirancang untuk memprioritaskan sensasi, tanpa disadari menjadi kurikulum brutal bagi mereka. Perang konten antar geng bukan lagi metafora itu adalah strategi operasional dan meraka bangga pada takut yang mereka ciptakan, tanpa tahu bahwa yang hilang bukan hanya nyawa, melainkan masa depan lingkungan mereka. Setiap video tawuran yang diunggah, setiap siaran langsung yang menantang, adalah bahan bakar yang mengobarkan api dalam echo chamber (ruang gema) mereka. Di dunia maya ini, kekejaman adalah mata uang, dan viralitas adalah tahta. Mereka terjebak dalam siklus adiktif yaitu beraksi, merekam, mengunggah, mendapat validasi, lalu mengulangnya dengan level kebrutalan yang bahkan lebih tinggi.

Di balik fasad digital yang beringas itu, terdapat kekosongan di dunia nyata yang tak terisi. Benteng pertahanan pertama keluarga dan sekolah seringkali telah runtuh lebih dulu. Rumah yang seharusnya menjadi dermaga emosional, kini terasa dingin dan sunyi tanpa dialog. Sekolah yang terlampau sibuk mengejar target kurikulum dan administrasi, sering kali lalai dan lengah membangun karakter dan menyediakan ruang aman untuk didengar. Vakum inilah yang kemudian diisi oleh geng, menawarkan ilusi persaudaraan, perlindungan, dan yang terpenting, sebuah identitas meskipun identitas itu dibangun di atas fondasi kehancuran.

Akibatnya, lanskap sosial kota berubah. Seragam yang seharusnya menjadi penanda harapan dan masa depan, kini justru menebar ketakutan di persimpangan jalan dan angkutan umum. Kepercayaan publik terkikis, digantikan oleh kecurigaan kolektif. Ironisnya, para pelajar ini yang sejatinya adalah korban dari krisis identitas kini diposisikan sebagai predator utama. Ini adalah simalakama sosial yaitu masyarakat menuntut ketertiban, namun abai pada akar masalah yang memicu kekacauan itu sendiri, menciptakan spiral ketakutan dan kebencian yang semakin sulit diurai.

Aksi gangster jalanan yang kian marak https://share.google/EU6avypsJrXgLWObI
Aksi gangster jalanan yang kian marak https://share.google/EU6avypsJrXgLWObI

Ini tidak lagi sekadar catatan kriminalitas remaja ini adalah sebuah dakwaan telak atas kegagalan kita sebagai masyarakat. Senjata tajam di genggaman mereka, itu bukanlah pangkal masalah, melainkan simptom paling akhir dari penyakit kronis bernama kekosongan makna. Pada akhirnya, pertarungan sesungguhnya bukanlah patroli di jalanan untuk merampas senjata, melainkan di ruang-ruang sunyi keluarga dan riuh rendah ruang kelas. Pertarungan itu adalah tentang merebut kembali definisi "harga diri" dari sekadar 'like' dan 'share', dan mengembalikannya pada nilai integritas dan kemanusiaan. Jika kita gagal dalam pertempuran senyap ini, maka kita hanya akan terus menyaksikan seragam-seragam itu ternodai dan satu per satu ditelan oleh bayang-bayang parang yang mereka ciptakan sendiri.

Solusi untuk memutus mata rantai krisis ini harus bersifat multidimensi dan kolektif, dimulai dari restorasi fondasi keluarga dan sekolah sebagai benteng identitas. Keluarga harus diaktifkan kembali sebagai dermaga emosional dengan mendorong dialog terbuka, kehadiran yang berkualitas, dan menciptakan ruang aman bagi remaja untuk mengekspresikan kerapuhan tanpa takut dihakimi. Sekolah harus bertransfomasi dari mereka hanya sebagai lembaga akademik menjadi daerah pengembangan karakter yang menawarkan intens program mentorship dan space ekspresi positif (seni, olahraga, kemampuan vokasi) yang mampu mengalihkan energi berlebihan dan mengisi kekosongan makna. Di sisi paralelnya, perlu dilakukan intervensi tegas terhadap ekosistem digital. Pemerintah dan platform media sosial harus bekerja sama untuk menurunkan visibilitas konten kekerasan dan memutus algoritma rekomendasi yang menginkubasi gangsterisme, sembari membanjiri ruang digital dengan narasi tandingan (counter-narrative) yang mengunggulkan prestasi, kontribusi sosial, dan nilai integritas. Langkah terakhir adalah re-edukasi identitas: mengganti validasi semu dari clout dan anarki di jalanan dengan identitas yang dibangun di atas tanggung jawab sosial dan kemanusiaan.

Pada akhirnya, transformasi tragis dari seragam menjadi senjata tajam ini adalah cerminan kegagalan kita bersama dalam menyediakan makna dan pengakuan yang sehat bagi generasi muda. Perlawanan sejati terhadap gangsterisme bukan terletak pada patroli yang lebih ketat atau penangkapan yang lebih masif, melainkan pada perebutan kembali narasi identitas. Kita harus berani masuk ke ruang-ruang sunyi yang selama ini kita abaikan rumah yang dingin, sekolah yang sepadan mengisi kekosongan tersebut dengan kehangatan dialog dan bimbingan moral yang otentik. Jika berhasil membuktikan bahwa harga diri yang asli bukan karena seberapa viralnya video tawuran, ataupun seberapa berani nama geng, melainkan dari nilai kemanusiaan yang ditegakkan, baru kita bisa berharap putih abu-abu seragam itu kembali menjadi simbol harapan dan masa depan, bukan lagi kamuflase bagi jiwa yang tersesat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Surabaya Selengkapnya
Lihat Surabaya Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun