Mohon tunggu...
Muhammad Sartibi
Muhammad Sartibi Mohon Tunggu... Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Tangerang & Guru SMAN 21 Kabupaten Tangerang

Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang & Guru SMAN 21 Kabupaten Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Baduy Dalam Konteks Kekinian

28 Agustus 2025   13:46 Diperbarui: 28 Agustus 2025   13:46 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Masyarakat Baduy Dalam

Suku Baduy, khususnya Baduy Dalam, sering dipandang sebagai simbol kemurnian tradisi yang masih bertahan di tengah derasnya arus modernitas. Mereka hidup dalam kesederhanaan, menolak listrik, teknologi, serta sistem sosial yang dianggap bisa mengganggu keseimbangan alam dan kehidupan spiritual. Namun dalam konteks kekinian, keberadaan Baduy bukan sekadar cerita eksotisme budaya, melainkan cermin kritis bagi masyarakat modern.

Di saat dunia modern sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi, teknologi, dan gaya hidup serba instan, masyarakat Baduy Dalam memilih jalan yang berlawanan: hidup selaras dengan alam, menjaga hutan, dan menolak intervensi luar yang berlebihan. Pilihan mereka secara tidak langsung menjadi kritik terhadap gaya hidup modern yang sering melahirkan krisis lingkungan, alienasi sosial, hingga kegelisahan batin.

Di tengah globalisasi, banyak budaya lokal kehilangan jati diri karena tergerus industri pariwisata dan kapitalisme. Baduy Dalam justru menolak komersialisasi jati diri mereka. Larangan penggunaan gadget, kendaraan, hingga pakaian modern adalah bentuk perlawanan terhadap homogenisasi budaya. Keputusan ini menunjukkan bahwa identitas tidak bisa diukur dari seberapa cepat suatu komunitas mengikuti arus modernitas, melainkan seberapa kuat mereka menjaga nilai.

Meski tegas menjaga tradisi, realitas kontemporer tak bisa dihindari sepenuhnya. Tekanan pariwisata, media sosial, bahkan kebijakan negara seringkali berbenturan dengan aturan adat mereka. Generasi muda Baduy berada di persimpangan: apakah tetap mempertahankan pola hidup leluhur atau perlahan membuka diri pada pendidikan dan teknologi modern? Di titik inilah kita melihat dilema besar: menjaga otentisitas atau beradaptasi dengan dunia luar.

Kehidupan Baduy Dalam mengajarkan bahwa kesederhanaan bukan berarti keterbelakangan, melainkan pilihan sadar untuk menjaga keseimbangan. Di era krisis iklim, kerusakan lingkungan, dan kecanduan digital, cara hidup Baduy adalah alarm keras bagi kita semua. Mereka seakan ingin berkata: "Kemajuan tanpa keseimbangan hanya akan membawa kehancuran."

Dalam konteks kekinian, Baduy Dalam bukan sekadar komunitas adat yang terisolasi, tetapi juga cermin kritis bagi bangsa dan dunia. Mereka menegaskan bahwa modernitas tidak selalu identik dengan kebahagiaan, dan kemajuan tidak selalu berarti meninggalkan tradisi. Justru dari kearifan lokal seperti Baduy, kita bisa belajar tentang keberlanjutan, keseimbangan, dan keutuhan hidup manusia dengan alam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun