Mohon tunggu...
Muhammad Nur Hasan
Muhammad Nur Hasan Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya Muhammad Nur Hasan Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Syariah di Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Menulis bagiku suatu kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran. Filsafat dan hukum menjadi genre keilmuan yang saya minati. Diskusi dan kajian adalah kegiatan yang menarik untuk mempertajam pola pikir kritis dan harus dilestarikan di lingkungan akademisi. Terus berproses dan mengembangkan kualitas intelektual menjadi fokus utama yang harus saya lakukan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari Sanad Ilmu Hingga Akhlakul Karimah : Alasan Adab Pesantren Bukanlah Sistem Feodal

15 Oktober 2025   02:27 Diperbarui: 15 Oktober 2025   10:22 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar :Artificial Intelegence ilustrasi adab seorang santri kepada kyai

Akhir-akhir ini, viral narasi adab pesantren merupakan bentuk feodalisme. Narasi tersebut ditayangkan di TV Nasional oleh Trans 7, sehingga memicu respon dari kalangan santri atau alumni pondok pesantren seluruh Indonesia. Walaupun direktur Trans 7 sudah meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi, hal ini tidak menyurutkan para santri dan alumni pondok pesantren untuk bersama-sama menggaungkan BOIKOT TRANS 7. 

Singkatnya, Trans 7 menggiring sebuah peristiwa adegan santri mencium tangan kiainya atau keluarga yang punya pondok pesantren. Lengkap dengan posisi badan yang sedikit membungkuk, penuh takzim, seolah sang kiai adalah seorang raja dan santri adalah abdi dalemnya. Diksi-diksi seperti "feodal" "kultus individu," "penindasan terselubung," dan "sistem patronase" pun langsung berhamburan laksana kacang goreng di hajatan. Berita ini menjadi tranding topik di kalangan para santri seluruh Indonesia. 

Sebentar, sebentar. Tarik napas dulu, Cuy. Sebelum jempol sampean mengetik komentar bernada revolusi Prancis (kasar), ada baiknya kita bedah dulu logikanya. Apa benar tradisi adab yang sudah mengakar ratusan tahun di pesantren ini sesederhana dan sejahat feodalisme? Jangan-jangan, kita ini cuma nonton film dari luar bioskop, cuma dengar desas-desusnya, tapi nggak pernah paham alur ceritanya.

Anggap saja tulisan ini adalah tiket bioskop gratis buat sampean. Kita akan coba melihat apa yang sebenarnya terjadi di balik tembok pesantren. Bukan untuk membela membabi buta, tapi untuk meletakkan segala sesuatunya pada tempat yang semestinya. Sebab, menuduh tradisi penghormatan sebagai feodalisme itu ibarat bilang semua orang yang pakai baju hitam itu anggota aliran sesat. Ya nggak gitu juga, Ferguso!

Cium Tangan Kok Dibilang Feodal? Bedain Dulu Esensinya, Cuy!

Mari kita mulai dari adegan paling ikonik yaitu cium tangan atau salim. Di mata kaum luar, ini adalah simbol ketundukan absolut. Padahal, bagi orang dalam, ini adalah soal adab dan penghormatan terhadap ilmu. Feodalisme itu basisnya adalah kekuasaan atas tanah, materi, dan garis keturunan. Seorang tuan tanah berkuasa karena dia punya aset, dan rakyat jelata tunduk karena butuh perlindungan dan sejengkal tanah untuk hidup. Hubungannya transaksional dan berbasis kekuatan.

Nah, di pesantren, seorang kiai dihormati bukan karena beliau punya hektaran sawah atau silsilah darah biru. Beliau dihormati karena dua hal, ilmu dan akhlak. Santri mencium tangan kiai bukan sebagai bentuk ketundukan seorang budak kepada tuannya, melainkan sebagai ekspresi terima kasih dan pengakuan atas ilmu yang dibawa oleh sang guru. 

Ini lebih mirip seorang musisi yang membungkuk di depan konduktor orkestra, atau seorang atlet yang memeluk pelatihnya setelah menang. Apakah itu feodal? Tentu tidak. Itu adalah respek.

Logikanya sederhana, jika dasarnya adalah feodalisme, maka yang paling dihormati adalah kiai terkaya atau yang punya pondok paling megah. Kenyataannya tidak begitu. Kiai sepuh yang hidup di gubuk reyot tapi ilmunya seluas samudra seringkali jauh lebih dihormati daripada kiai muda yang pondoknya mentereng. 

Fokusnya ada pada substansi (ilmu), bukan pada atribut duniawi (kekayaan atau kekuasaan). Jadi, menyamakan cium tangan dengan simbol feodal itu jelas gagal paham konteks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun