Mohon tunggu...
Muhammad Nur Hasan
Muhammad Nur Hasan Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya Muhammad Nur Hasan Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Syariah di Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Menulis bagiku suatu kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran. Filsafat dan hukum menjadi genre keilmuan yang saya minati. Diskusi dan kajian adalah kegiatan yang menarik untuk mempertajam pola pikir kritis dan harus dilestarikan di lingkungan akademisi. Terus berproses dan mengembangkan kualitas intelektual menjadi fokus utama yang harus saya lakukan.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Wahabi Lingkungan : Niatnya Buat Kontroversi Malah Jadi Solusi Mengatasi Kerusakan Bumi

29 Juni 2025   19:50 Diperbarui: 29 Juni 2025   19:50 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Wahabi Lingkungan (Sumber : Canva) 


Mendengar frasa "Wahabi Lingkungan" itu rasanya mirip seperti ketemu mantan di kondangan, antara kaget, agak nggak sreg, tapi kok ya bikin penasaran. Istilah yang dilempar Gus Ulil Abshar Abdalla ini memang nyeleneh abis. Gimana coba, "Wahabi" yang sering kita identikkan dengan serba hitam-putih dan (maaf) rada kaku dalam beragama, kok disandingkan sama isu lingkungan yang biasanya digaungkan anak-anak idealis bersandal gunung? Tapi lho, jangan salah sangka dulu, lur. Setelah dicerna pelan-pelan sambil ngopi pahit, ternyata ada kearifan lokal yang nggak sengaja terselip di balik istilah itu. Ini bukan soal thaharah air wudu, tapi thaharah bumi kita.

Begini, cuy. Coba kita flashback sebentar ke esensi "Wahabi" itu sendiri. Terlepas dari segala kontroversi dan stigmanya, salah satu semangat yang diusung adalah pemurnian. Mengembalikan ke yang asli, membuang segala embel-embel atau bid'ah yang dianggap nggak nyambung. Nah, sekarang kita terapkan itu ke lingkungan. Bumi kita ini, nggih, sudah terlalu banyak bid'ah. Ada bid'ah tumpukan plastik yang nggak bisa diurai sampai kiamat, bid'ah limbah industri yang bikin ikan-ikan pada demo, atau bid'ah asap knalpot yang bikin paru-paru kita sesak nafas kayak lagi pacaran sama hantu. Apakah semua itu "asli" bawaan alam? Mboten, to? Itu semua bid'ah ciptaan manusia yang keminter dan nggak eling.

Maka dari itu, semangat "Wahabi Lingkungan" yang terkesan kaku ini justru adalah penawar yang kita butuhkan. Bayangkan, rek. Kalau kita punya semangat se-puritan "Wahabi" dalam urusan lingkungan, mungkin kita nggak akan plonga-plongo lagi pas lihat orang buang sampah sembarangan. Kita nggak bakal mencla-mencle lagi bilang cinta alam tapi keran air dibiarin ngocor sampai banjir. Semangat ini menuntut kita untuk serius, bahkan keras kepala, dalam urusan menjaga bumi. Tidak ada kompromi dengan polusi. Tidak ada tawar-menawar soal hutan yang digunduli. Bukankah itu yang selama ini kita rindukan? Ketegasan yang seringkali absen di tengah-tengah slogan hijau yang cuma lip service.

Saat Raja Ampat Terjerat Bid'ah Tambang

Nah, sekarang coba kita tengok kasus yang sedang panas-panasnya dan bikin dada sesak yaitu isu tambang di Raja Ampat, Papua. Sebuah kawasan yang konon katanya surga dunia, dengan keindahan bawah laut yang bikin mata melotot takjub. Terumbu karang warna-warni, ikan-ikan berkejaran, dan pemandangan pulau-pulau karst yang megah bak lukisan Tuhan. Tapi apa yang terjadi? Ada bid'ah namanya izin tambang nikel di sana, lur. Sebuah bid'ah yang berpotensi merusak "kesucian" ekosistem Raja Ampat, mencemari air laut yang jernih, dan menghancurkan habitat biota laut yang tak ternilai.

Di sinilah relevansi "Wahabi Lingkungan" itu jadi moncer banget. Kalau kita pakai kacamata puritanisme lingkungan, tambang di Raja Ampat itu jelas sebuah pelanggaran berat. Sebuah bid'ah yang harus ditolak mentah-mentah. Nggak ada tawar-menawar soal "keuntungan ekonomi" yang sering jadi dalih, kalau ujung-ujungnya merusak alam yang sudah sempurna itu. Logikanya, kalau sesuatu itu murni dan sempurna, kenapa harus ditambah-tambahi dengan aktivitas yang jelas-jelas merusak? Bukankah semangat Wahabi itu menolak segala bentuk tambah-tambahan atau inovasi yang dianggap menyimpang dari yang asli?

Mungkin Gus Ulil pas ngomong itu posisi perut kosong dan cuma iseng nyeletuk. Tapi siapa sangka, celetukan itu justru jadi tamparan yang efektif. Kita jadi sadar, bahwa untuk urusan lingkungan ini, kita memang butuh radikalisme dalam arti positif. Radikal dalam artian mengakar kuat pada prinsip-prinsip pelestarian. Radikal dalam artian tidak toleran terhadap segala bentuk perusakan, terutama untuk kawasan sepenting Raja Ampat. Kalau perlu, kita harus galak sama diri sendiri dan juga sama orang lain (apalagi korporasi) yang ngelunjak sama bumi. Ibarat membersihkan kotoran yang menempel di sajadah, perlu dikerok sampai bersih, tidak cukup cuma disemprot air bunga. Apalagi ini kotoran tambang yang jelas-jelas merusak ekosistem!

Lantas, apakah ini berarti kita harus ngos-ngosan menghafal buku tebal tentang ekologi atau demo di setiap titik polusi? Ya nggak juga. Ini soal perubahan mindset. Dari yang tadinya permisif jadi preventif. Dari yang tadinya masa bodo jadi responsif. Kalau ada yang bilang "Wahabi lingkungan" itu aneh, ya biarkan saja. Wong yang aneh itu justru kita, yang tiap hari ngeluh soal cuaca ekstrem tapi AC di rumah nyala 24 jam tanpa ampun atau yang ngeluh soal air bersih susah, tapi keran kamar mandi dibiarkan mbanyoni saat gosok gigi. Apalagi, yang ngaku-ngaku cinta Raja Ampat tapi nggak peduli kalau ada tambang yang masuk.

Jadi, kalaupun Gus Ulil niatnya ngejek, toh hasil akhirnya justru bikin kita termelek. Ia secara tidak langsung mengingatkan bahwa untuk urusan bumi ini, kita butuh semangat yang tidak main-main. Butuh ketegasan yang kadang terasa menyebalkan bagi yang biasa seenaknya. Kalau lingkungan kita ini bisa diselamatkan dengan semangat "Wahabi" yaitu semangat pemurnian, penolakan terhadap bid'ah perusak, dan kembali ke kemurnian alam, kenapa tidak? Toh yang penting bumi lestari, anak cucu kita masih bisa ngicipi udara bersih dan air jernih. Termasuk keindahan bawah laut Raja Ampat yang tak tergantikan itu.

Maka, mari kita berwahabi lingkungan dengan cara kita sendiri. Nggak usah mikir ribet soal definisi atau cap-capan. Yang penting, kalau lihat sampah, pungut. Kalau keran bocor, benerin. Kalau lampu nggak perlu nyala, matiin. Dan yang paling penting, kalau ada bid'ah bernama tambang mau masuk ke surga dunia seperti Raja Ampat, ya tolak dengan tegas! Karena pada akhirnya, bumi ini bukan milik kita, cuy. Ini semua titipan dan menjaga titipan itu butuh keseriusan. Kadang, keseriusan itu memang terasa sedikit Wahabi. Tapi ya sudahlah, yang penting makmur!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun