Mohon tunggu...
Muhammad Nizarullah
Muhammad Nizarullah Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia Yang Sedang Mencari Jati Diri

Enterpreneur, Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ajaran atau Budaya?

2 April 2020   08:00 Diperbarui: 2 April 2020   07:58 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: islampedia.id

Kenapa perempuan yang mengeksistensikan dirinya di media sosial disebut menyebarkan fitnah? Bagaimana dengan foto ustadz laki-laki yang terpampang gagah di media sosial, dan dikagumi oleh banyak perempuan karena katampanannya dan terpikat oleh penampilannya? Pernahkah menanyakan ini kepada diri sendiri sebelum men-judge perempuan adalah sumber fitnah?

Pernyataan aneh “perempuan adalah sumber fitnah” sering saya dapatkan dalam ceramah ataupun talkshow yang semua penceramahnya adalah laki-laki. Jika perempuan yang eksis di media sosial diklaim mendapatkan dosa jariah, bagaimana dengan foto dai-dai yang disimpan oleh jamaah perempuan dan mengaguminya setiap hari? Tidak pernah ada satu ceramah pun yang mengatakan para dai  itu berpotensi memiliki dosa jariah. Bukan begitu?

Selain pernyataaan aneh diatas, ada lagi pernyataan ngawur yang seolah-olah ingin menaikkan derajat perempuan berkerudung. Padahal, justru meminggirkan peran perempuan. Seperti yang tertulis dalam selebaran yang dibagikan panitia saat talkshow bertema “Wajah Perempuan dalam Organisasi” pada 06 Maret beberapa hari yang lalu.

Perempuan kerap kali diibaratkan sebagai barang. Seperti, Perempuan yang memakai jilbab itu mulia bagaikan permen lolipop yang terbungkus sehingga tidak dikerubuti lalat. Ustadz lain berkata, perempuan mulia itu seperti pisang goreng yang dijual di etalase toko mahal, bukan seperti pisang goreng pinggir jalan. Atau perempuan mulia tidak seperti buah di pinggir jalan yang bebas dipegang-pegang siapa saja.

Ungkapan itu melupakan satu hal, yaitu perempuan adalah manusia, bukan barang, ia bisa menimbang baik dan buruk, memiliki akal untuk memilih, tidak bisa dipegang seenaknya, dan yang pasti tidak bisa dikerubungi lalat begitu saja.

Kalis (2019: 38) menyebutkan, Jika jilbab adalah konsekuensi penghambaan muslimah, mulai dari suara, gerak-gerik tubuh, dan segala aktifitas yang ia perbuat, maka perempuan akan percaya bahwa tafsir agama tak mengizinkan ia menjadi pemimpin yang nilainya setara dengan perempuan dan bukanlah penentu keputusan.

Pernyataan “perempuan tidak boleh bersuara keras” bukanlah tafsir agama. Syekh Wahbah az-Zuhayli, dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh menuliskan, bahwa suara perempuan menurut mayoritas ulama bukan aurat, karena para sahabat mendengarkan suara para istri Rasulullah SAW untuk memahami hukum agama. Bagaimana para istri Rasulullah memahamkan hukum agama kepada para sahabat jika tidak bersuara keras?

Kita sering mencampur adukkan antara budaya dan ajaran. Pernyataan diatas merupakan budaya yang dilanggengkan masyarakat dan sudah mendarah daging dalam lingkungan patriarki, sehingga diyakini bahwa budaya adalah ajaran Islam yang harus dilakukan.

Misal, penutup kepala yang sedikit lebar dilambangkan sebagai simbol kesalehan. Budaya ini yang diyakini masyarakat patriarki sebagai ajaran, yang ntah dari sumber mana didapatkan. Terlalu remeh menyetarakan kesalehan dengan selembar kain tipis di kepala. Pelajaran kebaikan seperti keihlasan, tawakkal, qanaah dan pelajaran kebaikan lainnya, lebih cenderung melibatkan pergulatan batin yang berlipat kali lebih rumit dari sekedar kain (Kalis, 2019: 12).

Perempuan, selalu dihantui dengan segala konstruksi sosial yang terbentuk di masyarakat, mulai dari pemisahan kerja antara laki-laki dan perempuan hingga pengekangan terhadap perempuan yang tidak boleh keluar rumah. Seruan goblok lelaki misoginis agar perempuan menetap di   rumah, seperti “kodrat perempuan di rumah”, “tempat terbaik bagi perempuan adalah rumah”, atau “karir perempuan itu di rumah”. Seruan-seruan inilah yang membuat perempuan kehilangan perannya.

Meski alasan kemanan bagi perempuan dipakai, faktanya perempuan masih belum aman di rumahnya sendiri. Menurut Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2019, ada sebanyak 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan selama 2018. Diantaranya, pacar sebagai pelaku sebanyak 2073 kasus. Sedangkan, suami sebagai pelaku, tetap berada diperingkat teratas, yaitu sebanyak 5114 kasus (Dea, 2019: 30).

Namun demikian, tetap saja masih ada perempuan yang membela suami mereka seolah menunjukan kepatuhan kepada suami dan menjaga reputasi rumah tangga, padahal sikap tersebut semakin melanggengkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Faktanya, korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) semakin melambung. Dea (2019: 29)  juga mengungkapkan kasus perempuan yang sedang hamil tua dibunuh oleh suaminya, selain itu perempuan difabel juga diperkosa oleh ayahnya dan dua saudara laki-lakinya selama betahun-tahun.

Bukan hanya korban KDRT yang melonjak, poligami pun diikut sertakan dengan alasan menyempurnakan akidah. Ayat Al-Quran (Q.S. An-Nisa’: 3) yang memperbolehkan menikahi perempuan lebih dari satu, dijadikan rujukan oleh akhi-akhi misoginis dengan tidak melanjutkan bunyi ayat selanjutnya yaitu “jika takut tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja”. Alasan apa yang dijadikan landasan untuk mengikuti sunah rasul? Jangan ditafsirkan ayat diatas sebagai perintah. Tak semuanya isi dalam Al-Qur’an adalah perintah.

Kenapa Rasul tidak pernah menikah sebelum Khadijah R.A. wafat? Di awal Islam, belum diturunkannya ayat tentang menikah lebih dari satu (jika sanggup berlaku adil). Kemudian Allah memberikan keistimewaan kepada Rasul untuk menikahi banyak perempuan karena alasan dakwah dan memerdekakan budak. Rasul tidak memiliki budak. Rasulullah Saw. Berpoligami pada sepuluh tahun terakhir periode dakwahnya ketika banyak terjadi peperangan.

Pilihan nabi untuk menikahi janda-janda pada fase itu menerangkan fase sosial yang khas, suami-suami mereka mati di dalam perang, dan nabi mengambil pilihan untuk menikahi mereka karena alasan dakwah. Islam datang menerangkan konsep pembatasan jumlah serta konsep keadilan yang diakhiri dengan syariat larangan bilamana laki-laki tak mampu berbuat adil (Kalis, 2019: 60).

Lalu, bagaimana dengan akhi-akhi yang kebelet ingin menikahi 4 perempuan sekaligus? Masih adakah perbudakan di atas muka bumi ini? Atau jangan-jangan, dengan menikahi 4 perempuan membuat laki-laki lebih maskulin, benarkah? Atau lebih parah lagi, terpengaruh dengan kampanye poligami sekelompok pedagang ramuan penis kuat, yang menjual nama agama untuk pelaris bisnisnya! Silahkan renungi sendiri!

Selamat merdeka untuk perempuan!

Penulis: Muhammad Nizarullah

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Rhetor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun