Mohon tunggu...
Muhammad Naf'an Fuadi
Muhammad Naf'an Fuadi Mohon Tunggu...

maju perut pantang mundur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Kyai dan Seekor Burung Beo

16 Oktober 2014   15:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:48 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Alkisah di suatu daerah yang terpencil di sebuah kaki gunung, seorang Kyai mendapat hadiah seekor burung beo yang masih kecil dari salah satu murid beliau. Sang Kyai bahagia bukan kepalang. Berterima kasihlah beliau kepada sang murid dan bersyukur pula beliau pada sang Maha Pencipta dan Maha Pemberi.

Mulai dari hari itu kesibukan sang Kyai semakin bertambah. Di sela senggang waktu beliau mengajar dan berdzikir bersama murid-murid tercintanya, beliau selalu merawat dan bercengkerama bersama si burung beo. Bersamaan dengan perjalanan waktu, si burung beo pun semakin besar dan semakin pintar. Burung beo itu bisa menirukan wirid sang Kyai dengan  menggeleng-gelengkan kepala dan bersuara kalimat dzikir “laa ilaaha illalLah”. Sang Kyai pun semakin tenggelam dalam kecintaannya kepada burung beo istimewa itu. Beliau lebih sering ditemukan berdzikir bersama burungnya daripada melaksanakan kegiatan-kegiatan lainnya.

Di suatu sore yang naas, burung beo itu pun mencicit keras sesaat sebelum menemui ajal di ujung mulut seekor kucing yang menerkamnya.Mendengar keributan itu, sang Kyai pun bergegas menuju sangkar. Beliau melihat si kucing sedang memakan burung dan hanya menyisakan tulang dan bulu-bulu yang berserakan di lantai. Sang Kyai pun sedih dan menangis.

Kesedihan Sang Kyai membuat beliau lupa jadwal mengajar dan berdzikir bersama para murid. SangKyai sering menangisdan terguguk-guguk sendiri. Seringkali beliau lupa makan. Lama-lama sang Kyai pun jatuh sakit.

Tak tahan dengan kesedihan sang Kyai, para murid yang selama ini melayani beliau tanpa banyak tanya mencoba mencari jawab atas kesedihan sang Kyai.

Seorang santri memberanikan diri menghadap di pembaringan sang Kyai dengan membawa seekor burung beo pengganti untuk dihaturkan kepada sang Kyai. Wajah sang Kyai bukannya bertambah riang. Mendung semakin menggelayut di wajah beliau dan sebentar kemudian air mata beliau pun tumpah laksana hujan lebat. Tidak ada kata-kata yang bersambut saat itu.

Santri-santri senior bermusyawarah mencari jalan dan cara membahagiakan sang Kyai yang mereka cintai. Kebahagiaan sang Kyai adalah kebahagiaan mereka. Dan sebaliknya, kesedihan sang Kyai pun kesedihan mereka juga.

Tanpa dinyana, tak lama dari mereka bermusyawarah, sang Kyai yang sedang sakit itu melangkah tertatih menuju ke aula tempat beliau biasa mengajar. Lalu, duduklah beliau sedangkan mata beliau sembab dengan air mata. Semburat para santriyang mengetahui arah perjalanan beliau membantu menuntun jalan dan duduk dalam suasana yang tenang. Suasana pun larut dalam kesedihan.

Akhirnya sang Kyai membuka suara.

Anak-anakku  yang tercinta.

Maafkanlah gurumu yang lalai dan sibuk dengan urusannya sendiri. Mulai hari ini mari kita buka kitab kita. Mari kita mengaji bersama-sama.

Dan akhirnya, jam mengajar kitabusai. Seorang santri senior menemani dan menggandeng tangan sang Kyai kembali beristirahat.

Dengan memberanikan diri dan menata kata-katanya dengan penuh kesopanan, santri senior itu pun bertanya lirih. “Gerangan apakah yang merisaukan panjenengan, duhai Bapakku..!”

Sang Kyai hanya terdiam. Tapi itu pun hanya sebentar. Begitu sampai di tempat pembaringan, santri senior itumemberanikan diri untuk memijat dan mengulangi lagi pertanyaannya dengan penuh keta’dziman.

Akhirnya tibalah waktu  sang Kyai  bercerita.

“Duhai anakku, sesungguhnya kesedihanku ini bukan karena burung beo yang mati karena diterkam kucing. Sungguh bukan itu yang membuatku menangis berhari-hari”.

Sang murid pun masih dengan mulutnya yang terkunci dan mendengarkan.Suara sang Kyai lambat dan pelan tapi sangat terang menyambar di kedua daun telinganya.

“Aku hanya membayangkan diriku sendiri”, sang Kyai melanjutkan cerita beliau.

“Burung beo itu tanpa dosa..

Namun di akhir nafasnya,Burung beo itu tidak secuil pun berucap kalimat tahlil “laa ilaaha illalLah”.. padahalgoda setantidak pernah menghampirinya.

Bagaimana nasibku nanti

Akankah aku lebih beruntung dari si beo ataukah sebaliknya.

Padahal aku tahu, beo itu tidak pernah berbuat macam-macam.

Tidak seperti diriku”.

Sang Kyai pun kembali larut dalam kesedihannya.

Sementara sang murid pun tak kalah mengguguk.

Dalam bayangannya, bagaimana mungkin ia berharap banyak untuk selamat di ujung nafas terakhirnya nanti sedangkan sangKyai gurusejatinya yang sangat dicintai itu pun ragu dengan nasibnya sendiri.

“Akankah aku selamat meniti ujung nafasku, anakku?”

Pertanyaan sang Kyai seperti sedang melolosidaging dari tulang. Sang murid itu pun pingsan tanpa pernah menjawab pertanyaan.

++++++++++++++++++++++

Rembang, 16 Oktober 2014.

++++++++++++++++++++++

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun